TOLAK
Tak Boleh Sakit
Saya berusaha mencoba mencerna kalimat Bapak bahwa "Tak ingin ada istilah kesehatan itu murah, Sehat itu Mahal. Orang nanti menyerahkan ke BPJS, mati nanti BPJS" sehingga asumsi Bapak perlunya - harus - menaikkan iuran BPJS pada semua kelas untuk mencegah agar BPJS tidak mengalami Defisit (kerugian) yang besar. Kurang lebih begitu ya, pak?
Saya berusaha mencoba mencerna kalimat Bapak bahwa "Tak ingin ada istilah kesehatan itu murah, Sehat itu Mahal. Orang nanti menyerahkan ke BPJS, mati nanti BPJS" sehingga asumsi Bapak perlunya - harus - menaikkan iuran BPJS pada semua kelas untuk mencegah agar BPJS tidak mengalami Defisit (kerugian) yang besar. Kurang lebih begitu ya, pak?
Jadi, ada dua hal yang ingin saya bahas tentang argumentasi Bapak. Pertama, Sehat itu Mahal. Kedua, Iuran BPJS perlu di naikkan karena dikhawatirkan mengalami defisit.
Saya yakin, semua akan sepakat bahwa slogan "Sakit itu Mahal" merupakan asosiasi kesadaran tuk merubah prilaku hidup kita lebih sehat dan bersih dari lingkungan. Seperti menjaga pola makan, waktu yang cukup untuk beristirahat, menjaga kebersihan, tak lupa rajin berolahraga.
"Dalam kesehatan terdapat kebebasan. Kesehatan adalah hal yang paling pertama dalam semua Kebebasan". - Henri Frederic Amiel.
Nah, bagaimana dengan mereka - ekonomi menengah ke bawah - masyarakat kurang mampu (miskin), pak? Karena bagi mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah sangat kesulitan apalagi memikirkan prilaku hidup sehat?
Menurutku, konteks bapak bahwa sehat itu mahal sudah tepat tetapi tidak tepat sasaran. Maksudnya, tepat yaitu berkampanye soal pola hidup sehat sementara tidak tepat sasaran justru menaikkan iuran BPJS setiap kelas peserta. Sedangkan saat mereka sakit dan membutuhkan penanganan medis, mereka hanya berharap pada BPJS.
Sebaliknya para elite dalam BPJS justu diberikan kemudahan mendapatkan pelayanan oleh Negara seperti naiknya tunjangan dan penerimaan fasilitas medis (berobat hingga keluar antar Negara) terlihat pada perubahan Keputusan yang ditetapkan lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2019 dari tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Direksi dan Anggota Dewan Pengawas BPJS Nomor 34/PMK.02/2019 dengan sumber dananya dari Operasional BPJS, tidak menggunakan sumber APBD. Dan yang membuat saya khawatir, BPJS akan menjadi alat penyelenggara untuk praktek KKN secara leluasa.
Bukankah salah satu fingsi BPJS dibentuk untuk membantu atau memudahkan mereka yang kurang mampu agar mendapatkan pelayanan medis yang layak?
Dan saya cukup setuju dengan Bapak bahwa Kesehatan itu mahal harganya - selain menguras biaya dan juga waktu - bahkan mustahil karena setap manusia (makhluk hidup) pasti pernah mengalami sakit, seperti ungkapan beberapa tokoh dalam buku Eko Prasetyo (Baca : Orang Miskin Dilarang Sakit, 2005).
"Dalam pikiran yang berantakan, seperti dalam tubuh yang berantakan pula. Kesehatan adalah hal yang Mustahil" - Ceciro.
Tak heran cita-cita tuk menjadi dokter sedikit langka ketimbang menjadi Presiden, mengapa? Sebab tak ada "sekolah" untuk menjadi Presiden dan sudah hal yang lumrah ketika ingin menjadi dokter diperlukan biaya yang besar (mahal) serta jenjang studi yang cukup lama. Sementara untuk menjadi presiden, cukuplah menjadi pengusaha mebel atau mantan angkatan darat, bisa juga dengan membentuk partai. Iya kan, pak?
Kedua, sejujurnya saya sendiri belum memahami konteks BPJS dan mekanisme kerjanya apalagi bisa mengalami defisit? namun saya akan berusaha agar terlihat kritis sejauh pengetahuanku.
Hemat saya, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) ialah sebuah lembaga pemerintah yang menjalankannya program kesejahteraan sosial yang dibentuk pada tahun 2014 dengan mengacu pada UU nomor 24 Tahun 2001. Orientasinya serupa program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang menggunakan sistem asuransi dimana seluruh warga Indonesia wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya sebagai iuran jaminan kesehatan di masa depan. Seperti yang diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tuk menjamin seluruh kesehatan Masyarakat Indonesia.
BPJS terbagi dalam dua jenis program yaitu Kesehatan & Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan tak lain merupakan transformasi dari PT. Askes (Asuransi Kesehatan) sedangkan BPJS Ketenagakerjaan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) yg dibentuk langsung oleh kebijakan Presiden. Fokus tulisan ini pada BPJS Kesehatan sementara untuk BPJS Ketenagakerjaan nanti lain waktu kalau saya tidak sibuk (sok sibuk)
Kembali ke topik, pengelompokkan peserta BPJS Kesehatan diklasifikasikan dengan beberapa kelompok yaitu :
1. PBI (Penerima Bantuan Iuran)
2. PPU (Pekerja Penerima Upah)
3. PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah)
4. BP (Bukan Pekerja)
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013, Iuran pembayaran peserta BPJS kesehatan terbagi menjadi Tiga kelas dan Empat jenis iurannya :
Data untuk tiga kelas Tahun 2018:
Kelas I biaya Iuran per bulan sebesar Rp. 80.000,-
Kelas II biaya iuran per bulan sebesar Rp. 51.000,-
Kelas III biaya iuran per bulan sebesar Rp. 25.500,-
Empat Jenis Iuran Pembayaran:
a) Iuran pembayaran kesehatan PBI ialah penduduk tidak mampu atau miskin yg didaftarkan serta dibayarkan oleh Pemerintah Daerah.
b) Iuran pembayaran kesehatan PPU ialah penduduk pekerja seperti (ASN, TNI/POLRI, Pejabat/Pegawai Pemerintah, Karyawan Swasta) yang dibayar oleh pemberi kerja dengan memotong langsung gaji bulanan yang diterimanya.
c) Iuran pembayaran kesehatan PBPU ialah penduduk yang bekerja secara mandiri atau pengusaha swasta skali kecil seperti bengkel, warung makan, kios, dlsb. dengan membayar sejumlah uangnya setiap bulan sesuai pendaftaran kelas fasilitas layanan.
d) Iuran pembayaran kesehatan BP ialah penduduk yang bukan pekerja seperti pensiunan veteran atau atlet, janda, anak yatim dengan membayar secara mandiri.
Dari keempat jenis iuran tersebut masing-masing memiliki nominal yang berbeda tergantung dari jenis pekerjaannya. Setiap peserta penerima upah akan dipotong 5% (lima persen) dari penghasilan bulanannya, seperti ketentuannya 3% oleh pemberi kerja dan 2% oleh peserta kecuali PBI.
Yang menarik, melalui klasifikasi peserta BPJS Kesehatan dan iuran pembayaran untuk semua kelas peserta bersumber dari APBN/APBD dan Mandiri (Perusahaan Swasta maupun BUMN). Adapun persoalan BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit karena gerakan turunnya kelas/berpindah peserta anggota demi menghindari nilai iuran pembayaran serta tunggakan iuran secara massif oleh golongan mandiri (manipulasi audit) hal ini di picu karena implementasi pelayanan kesehatan dari pihak rumah sakit dan puskesmas untuk peserta BPJS Kesehatan kurang optimal kecuali kelas I (satu) dan II (dua). Sehingga yang terjadi kelas peserta PBI terus meningkat, terlihat dalam infografis Peserta BPJS Kesehatan (Januari 2018).
Melalui infografis tersebut peningkatan jumlah seluruh peserta BPJS Kesehatan sejak Tahun 2014-2019 berkisar 82,73 juta dan diantaranya terdapat 31,2 juta peserta PBI. Oleh karena itu pembersihan data kelas peserta keanggotaan perlu dilakukan terlebih dahulu secara umum pada setiap kelas dan secara khusus PBI, sebelum menaikkan Iuran BPJS Kesehatan agar jaminan kesehatan terhadap rakyat kurang mampu tepat sasaran. Hal ini berbanding terbalik dengan data Negara mengenai tingkat kesejateraan rakyat yg mengatakan telah berkurangnya rakyat kurang mampu.
Sebelumnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah memberikan tiga saran untuk mencegah kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yaitu pertama, pembersihan data peserta keanggotaan khususnya PBI yang tidak tepat sasaran untuk dimasukkan di kelas golongan III (tiga). Kedua, mendorong semua perusahaan untuk bekerja sama pada layanan kesehatan menjadi anggota BPJS Kesehatan. Ketiga, mengalokasikan Bea Cukai langsung ke BPJS Kesehatan.
Sebaliknya para elite dalam BPJS justu diberikan kemudahan mendapatkan pelayanan oleh Negara seperti naiknya tunjangan dan penerimaan fasilitas medis (berobat hingga keluar antar Negara) terlihat pada perubahan Keputusan yang ditetapkan lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2019 dari tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Direksi dan Anggota Dewan Pengawas BPJS Nomor 34/PMK.02/2019 dengan sumber dananya dari Operasional BPJS, tidak menggunakan sumber APBD. Dan yang membuat saya khawatir, BPJS akan menjadi alat penyelenggara untuk praktek KKN secara leluasa.
Bukankah salah satu fingsi BPJS dibentuk untuk membantu atau memudahkan mereka yang kurang mampu agar mendapatkan pelayanan medis yang layak?
Dan saya cukup setuju dengan Bapak bahwa Kesehatan itu mahal harganya - selain menguras biaya dan juga waktu - bahkan mustahil karena setap manusia (makhluk hidup) pasti pernah mengalami sakit, seperti ungkapan beberapa tokoh dalam buku Eko Prasetyo (Baca : Orang Miskin Dilarang Sakit, 2005).
"Dalam pikiran yang berantakan, seperti dalam tubuh yang berantakan pula. Kesehatan adalah hal yang Mustahil" - Ceciro.
Tak heran cita-cita tuk menjadi dokter sedikit langka ketimbang menjadi Presiden, mengapa? Sebab tak ada "sekolah" untuk menjadi Presiden dan sudah hal yang lumrah ketika ingin menjadi dokter diperlukan biaya yang besar (mahal) serta jenjang studi yang cukup lama. Sementara untuk menjadi presiden, cukuplah menjadi pengusaha mebel atau mantan angkatan darat, bisa juga dengan membentuk partai. Iya kan, pak?
Kedua, sejujurnya saya sendiri belum memahami konteks BPJS dan mekanisme kerjanya apalagi bisa mengalami defisit? namun saya akan berusaha agar terlihat kritis sejauh pengetahuanku.
Hemat saya, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) ialah sebuah lembaga pemerintah yang menjalankannya program kesejahteraan sosial yang dibentuk pada tahun 2014 dengan mengacu pada UU nomor 24 Tahun 2001. Orientasinya serupa program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang menggunakan sistem asuransi dimana seluruh warga Indonesia wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya sebagai iuran jaminan kesehatan di masa depan. Seperti yang diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tuk menjamin seluruh kesehatan Masyarakat Indonesia.
BPJS terbagi dalam dua jenis program yaitu Kesehatan & Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan tak lain merupakan transformasi dari PT. Askes (Asuransi Kesehatan) sedangkan BPJS Ketenagakerjaan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) yg dibentuk langsung oleh kebijakan Presiden. Fokus tulisan ini pada BPJS Kesehatan sementara untuk BPJS Ketenagakerjaan nanti lain waktu kalau saya tidak sibuk (sok sibuk)
Kembali ke topik, pengelompokkan peserta BPJS Kesehatan diklasifikasikan dengan beberapa kelompok yaitu :
1. PBI (Penerima Bantuan Iuran)
2. PPU (Pekerja Penerima Upah)
3. PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah)
4. BP (Bukan Pekerja)
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013, Iuran pembayaran peserta BPJS kesehatan terbagi menjadi Tiga kelas dan Empat jenis iurannya :
Data untuk tiga kelas Tahun 2018:
Kelas I biaya Iuran per bulan sebesar Rp. 80.000,-
Kelas II biaya iuran per bulan sebesar Rp. 51.000,-
Kelas III biaya iuran per bulan sebesar Rp. 25.500,-
Empat Jenis Iuran Pembayaran:
a) Iuran pembayaran kesehatan PBI ialah penduduk tidak mampu atau miskin yg didaftarkan serta dibayarkan oleh Pemerintah Daerah.
b) Iuran pembayaran kesehatan PPU ialah penduduk pekerja seperti (ASN, TNI/POLRI, Pejabat/Pegawai Pemerintah, Karyawan Swasta) yang dibayar oleh pemberi kerja dengan memotong langsung gaji bulanan yang diterimanya.
c) Iuran pembayaran kesehatan PBPU ialah penduduk yang bekerja secara mandiri atau pengusaha swasta skali kecil seperti bengkel, warung makan, kios, dlsb. dengan membayar sejumlah uangnya setiap bulan sesuai pendaftaran kelas fasilitas layanan.
d) Iuran pembayaran kesehatan BP ialah penduduk yang bukan pekerja seperti pensiunan veteran atau atlet, janda, anak yatim dengan membayar secara mandiri.
Dari keempat jenis iuran tersebut masing-masing memiliki nominal yang berbeda tergantung dari jenis pekerjaannya. Setiap peserta penerima upah akan dipotong 5% (lima persen) dari penghasilan bulanannya, seperti ketentuannya 3% oleh pemberi kerja dan 2% oleh peserta kecuali PBI.
Yang menarik, melalui klasifikasi peserta BPJS Kesehatan dan iuran pembayaran untuk semua kelas peserta bersumber dari APBN/APBD dan Mandiri (Perusahaan Swasta maupun BUMN). Adapun persoalan BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit karena gerakan turunnya kelas/berpindah peserta anggota demi menghindari nilai iuran pembayaran serta tunggakan iuran secara massif oleh golongan mandiri (manipulasi audit) hal ini di picu karena implementasi pelayanan kesehatan dari pihak rumah sakit dan puskesmas untuk peserta BPJS Kesehatan kurang optimal kecuali kelas I (satu) dan II (dua). Sehingga yang terjadi kelas peserta PBI terus meningkat, terlihat dalam infografis Peserta BPJS Kesehatan (Januari 2018).
Melalui infografis tersebut peningkatan jumlah seluruh peserta BPJS Kesehatan sejak Tahun 2014-2019 berkisar 82,73 juta dan diantaranya terdapat 31,2 juta peserta PBI. Oleh karena itu pembersihan data kelas peserta keanggotaan perlu dilakukan terlebih dahulu secara umum pada setiap kelas dan secara khusus PBI, sebelum menaikkan Iuran BPJS Kesehatan agar jaminan kesehatan terhadap rakyat kurang mampu tepat sasaran. Hal ini berbanding terbalik dengan data Negara mengenai tingkat kesejateraan rakyat yg mengatakan telah berkurangnya rakyat kurang mampu.
Sebelumnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah memberikan tiga saran untuk mencegah kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yaitu pertama, pembersihan data peserta keanggotaan khususnya PBI yang tidak tepat sasaran untuk dimasukkan di kelas golongan III (tiga). Kedua, mendorong semua perusahaan untuk bekerja sama pada layanan kesehatan menjadi anggota BPJS Kesehatan. Ketiga, mengalokasikan Bea Cukai langsung ke BPJS Kesehatan.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6736655153931857"
crossorigin="anonymous"></script>
Hemat saya, sejak awal masalah BPJS Kesehatan ialah masalah pelayanan kesehatan dan manajemen pembayaran. Persoalan pelayanan kesehatan BPJS bisa diterjemahkan dalam suatu perjanjian dengan seluruh rumah sakit maupun puskesmas yang ada di Indonesia. Jika terdapat manipulasi audit layanan, perlu sanksi tegas dari pihak layanan (Kemenkes) dan teknis penerima layanan (Kemensos).
Untuk manajemen pembayaran, diperlukan transparansi BPJS Kesehatan maupun Kemenkeu terhadap iuran pembayaran dari peserta. Sebaliknya untuk anggota peserta dengan penuh kesadaran memakai kelas layanannya seperti terdaftar kelas III secara otomatis tidak menuntut pelayanan seperti kelas II maupun I - lain hal lagi kalau menyangkut layanan yang terlantar - peserta wajib kroscek kepatuhan membayar iurannya jika ingin mendapatkan layanan kesehatan. Namun yang sering terjadi peserta hanya membayar ketika ia sedang dirawat di RS dan ketika sudah sembuh ia tak membayar lagi iurannya. Seakan BPJS Kesehatan hanya sebagai alat pada saat diperlukan tetapi ditinggalkan jika sudah tak dibutuhkan. Seperti mantan yang tiba-tiba menghubungimu hanya ketika lagi butuh pertolongan, perih bukan? Oke kembali lagi ke topik.
Padahal sistem BPJS Kesehatan tak jauh berbeda dengan perusahaan investasi maupun jasa asuransi skala jangka panjang (sampai meninggal) sebab sakit tak pernah mengenal waktu maupun usia. Saya mulai menyadari kebutuhan layanan kesehatan ini ketika istriku akan melahirkan anak pertama kita. Akhirnya sayapun daftarkan sekeluarga, anakku yang baru lahir terdaftar kelas I karena masih balita pastinya sangat membutuhkan layanan kesehatan untuk tumbuh kembangnya sedangkan sy dan istri terdaftar kelas II. Jadi, setoran iuran kami Rp. 182.000,-/bulan x 12 bulan bekisar Rp. 2.184.000,-/tahun. Saya rasa, cukuplah untuk seseorang dengan penghasilan bulanan berkisar 3 jutaan.
Pertanyaanya, bagaimana jika dalam satu/dua tahun kami sekeluarga tidak ada yang sakit? kemana iuran pembayaran kami? karena kalau kita bicara asuransi maupun investasi pastilah punya dampak dari Debitur. Disinilah tuntuttan kejelasan tranparansi arah dana oleh BPJS Kesehatan sangat dibutuhkan peserta. Sementara pada teknis iuran pembayaran agar seluruh peserta patuh dengan pembayaran saranku adalah Kartu BPJS perlu di upgrade dengan jangka waktu ditentukan misalnya paling cepat 6 bulan & paling lambat 1 tahun. Jika tak dilakukan akan diberi sanksi pencabutan layanan kesehatan (non-aktif) dan bisa mendaftar kembali setelah 2 bulan. Teknis kepatuhan ini seperti teknis pembayaran token listrik, air, maupun pajak kendaraan dll. Agar slogan sakit itu mahal menjadi tepat sasaran.
Sayangnya, lagi-lagi pemerintah justru malah menaikkan Iuran pembayaran BPJS Kesehatan - tercantum dalam Perpres Pasal 37 Nomor 75 Tahun 2019 - dengan 100% mulai 1 Januari 2020 untuk menghindari persoalan defisit padahal masalah defisit pada tubuh BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun bersumber dari pelayanan kesehatan yg tidak optimal dan maintenance manajemen pembayarannya.
Ibarat yang bermasalah bocornya ban dalam kendaraan tapi yang diperbaiki malah membeli pelek beserta ban baru. Akhirnya sampailah pada satu kesimpulan slogan "sakit itu mahal" tak lain dari anda "tak boleh sakit".
Comments
Post a Comment