API & MASA
Apatisme & Moralitas Bangsa
Generasi itu adalah Kita.!
Gelombang arus globalisasi yang begitu deras menuntut individu untuk tidak tinggal diam terhadap perubahan sosial yang begitu aktif dan dinamis (sesuai dengan keadaan).
Meminjam istilah filosofis dari Heraklaitos seorang filsuf pra-socratic, bahwa perubahan adalah “sesuatu yang kekal dalam dunia materi”
Perubahan tidak hanya
terjadi didalam tubuh biologis maupun tubuh non-biologis.
Masalah kebangsaan dan
kenegaraan yang kian kompleks (rumit) membuat persoalan-persoalan sosial
bergulir yang kemudian tidak terelakkan bahwa problematika moral (belum
terpecahkan) akan mengikuti peradaban zaman.
Posisi mahasiswa
kemudian dipertanyakan bagaiamana menempatkan diri di dalam perubahan yang
begitu cepat terjadi – terutama dalam ruang lingkup kebangsaan. Seorang mahasiswa
tidak bisa tinggal diam dalam panggung nasional maupun internasional.
Konsekuensi logis daripada
kompleksnya dunia yang berlipat, kebablasannya arus informasi, serta merasuknya
globalisme tanpa ada filterisasi (penyaringan) terlebih dahulu menyebabkan
masyarakat Indonesia terutama remaja dan pemuda terperosok dalam lubang hitam
bersama kebudayaan dan keberadaban bangsa Indonesia yang katanya “santun” ini.
Budaya-budaya lokal
yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur mulai tergantikan dengan budaya konsumerisme,
apatisme dan hedonisme, bahkan islamphobia di akhir-akhir tahun ini.
Pemuda Indonesia mulai
konservatif (kolot) yang tanpa sadar dipaksa untuk senantiasa mengikuti hawa
nafsu mereka yang seakan-akan bekerja bagai kompas. Tanpa sadar mereka dipaksa
untuk selalu memenuhi kebutuhan mereka dengan cara-cara yang “praktis” karena
cara untuk memperoleh suatu kenikmatan telah begitu cepat dan begitu mudah.
Pada akhirnya pemuda
Indonesia lebih memikirkan perut sendiri dibandingkan perut orang lain yang
banyak kelaparan di bawah kolong jembatan. Pada akhrinya pemuda Indonesia lebih
memilih jalan individualisme.
“Sejarah adalah suatu
gelombang kekuatan perubahan yang diprakarsai oleh pemikiran atau rasio” begitu
kira-kira menurut istilah Hegel.
Sejarah Indonesia
mencatat eksistensi atas peran para pemuda dalam perjalanan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Peristiwa Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, revolusi 1966 hingga Reformasi pada tahun 1998 tidak pernah terlepas
dari gagasan dan gerakan para pemuda Indonesia terutama MAHASISWA.
Perubahan sosial adalah
bagaikan suatu fenomena yang berjalan harus senantiasa dikawal oleh pemuda
Indonesia. Dengan amanah besar yang diwariskan secara turun temurun secara ideologis
di bawah naungan falsafah dasar (philosphis grondslag) dan pandangan
dunia (worldview/weltancahung) bangsa, yaitu Pancasila dan UUD.
Kita mengetahui bahwa
eksistensi pemuda terutama mahasiswa dalam konteks dewasa ini merupakan bahan
bakar dari sejarah itu sendiri. Dengan bergulirnya roda globalisasi, idealisme
yang terpuruk dari masa ke masa kemudian terjerumus bersama arus modernisasi
akibat “penerimaan yang buta” terhadap pengaruh budaya luar.
Penyakit hedonisme
hanya memberikan kenikmatan individual dan menjauhkan cita-cita keadilan
sosial.
Budaya konsumerisme tak
terbendung menuntut masyarakat untuk menerobos dalam labirin yang diciptakan
oleh “berhala pasar”.
Dan virus islamphobia
kian mencengkram estalase politik global hingga berdampak pembentukan “kembali”
khilafah atas cideranya demokrasi oleh kaum ektremis (overdosis agama/fanatik)
Apatisme kemudian adalah keniscayaan, ketika para pemuda bangsa Indonesia terlena dengan kenikmatan semu yang ditawarkan dunia yang sementara ini. Mereka dengan santai berjalan tanpa beban, ironisnya diatas tumpukan tulang belulang masyarakat yang mati akibat ketidakpedulian pemuda bangsa.
Sejauh yang kita
ketahui bersama predikat yang melekat pada kata mahasiswa seperti agent of
change, agent of social control, agent of social engineering, intellectual
organic dll.. Hanya menjadi simbol yang tidak berwujud. Bagaimana tidak?
Ketika mahasiswa-mahasiswa yang masih peduli dengan nasib masa depan NKRI turun
kejalan untuk berdemonstrasi mengusahakan aspirasi rakyat, seribu mahasiswa
lainnya dengan asyik menonton seakan-akan sedang menikmati acara badut. Sejarah
tidak mengamanatkan itu.
Mereka lupa bahwasanya
Demonstrasi merupakan suatu “penyeimbang” antara implementasi kinerja aparat pemerintah
terhadap ketepatan konsep sasaran masyarakat yang di-inginkan tanpa mencederai
azas-azas Pancasila dan UUD. Jadi ketika suatu bangsa/negara tidak terlihat
adanya “demonstrasi” itu menunjukan ada yang “kurang beres” dari bangsa
tersebut.
Para founding
leaders kita tidak mengharapkan itu, ketika sedang menyusun konsep negara
kita. Yang – Diharapkan – oleh mereka adalah kepedulian tanpa ujung untuk terus
memperjuangkan terciptanya keadilan sosial yang sesungguhnya.
Teringat masa lalu saat saya
turun ke jalan pada suatu sore untuk berteriak mengajak masyarakat ikut peduli
terhadap integrasi bangsa, malah muncul komentar-komentar miring yang tidak
sedap ditelinga ironisnya berasal dari kelompok mahasiswa itu sendiri.
Dulu ketika saya ingin
membela nyawa seorang TKW yang terancam akan dihukum mati di Arab Saudi,
mahasiswa lain mengomentari, “untuk apa mementingkan nyawa satu orang sedangkan
masalah mayoritas rakyat tidak”
Komentar ini bersifat
diskriminatif, padahal negara Indonesia bukanlah negara mayokrasi yang hanya
mengakomodir kepentingan mayoritas ataupun minoritas akan tetapi seharusnya
mengakomodir seluruh kepentingan setiap elemen dalam bangsa Indonesia.
Apalagi ketika
berbicara seorang WNI baik yang sedang berada di dalam maupun di luar Indonesia
dijamin haknya oleh konstitusi.
Telinga saya pun semakin
panas ketika komentar lain berdatangan seperti “21 Milyar hanya untuk mengurusi
satu orang? Mending digunakan untuk sebanyak-banyaknya kepentingan masyarakat”.
Sangat diskriminatif. Dan juga menunjukan paham individualisme akut. Karena untuk
apa lagi artinya tumpukan uang tersebut jika dibandingkan dengan nyawa
seseorang?
Perlu diketahui bersama
kejadian sekitar 2009 itu, bahwa saya
dan kawan-kawan saya bela hari itu adalah seorang TKW yang bernama Satinah,
seorang ibu, seorang pahlawan devisa, seorang wanita tua yang memberanikan diri
untuk siap menanggung beban fisik maupun psikologis diluar negeri dengan segala
resiko yang ada hanya untuk menafkahi seluruh keluarganya.
Satu hal penting yang
tidak disadari oleh para mahasiswa apatis itu adalah bagaimana jika posisi
ibunda mereka sekarang ditukar dengan posisi Satinah? Apakah masih sama
komentar yang akan diberikan?
Negara Indonesia adalah
suatu negara yang dibentuk oleh kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa.
Satu masalah yang datang dalam satu kelompok adalah masalah bagi segenap tumpah
darah Indonesia.
Budaya hari ini adalah
penyelesaian masalah dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa memperdulikan lagi
nilai-nilai kolektivisme, “Itu sih DL Derita Loe” kata beberapa pemuda kala itu.
Hari ini yang perlu
kita khawatirkan bukan sekedar masalah yang hadir, akan tetapi bagaimana cara
menyikapi masalah tersebut dengan kondisi “sebagian pemuda” yang kehilangan
kesadaran mereka.
Soekarno mengatakan “bahwa
generasiku setelah aku wafat adalah generasi penerus cita-cita bangsa. Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri" Ironisnya, dewasa ini apa yg dikatakan bpk. Proklamator tersebut terlihat jelas generasi kita mengalami degradasi, karena degradasi sudah terlalu
mainstream aku menyebutnya generasi alzhemeir. Ya! Generasi kita adalah
generasi pelupa!
Generasi yang melupakan
bahwa bangsa kita lahir dari kesadaran akan persamaan nasib.
Generasi kita hari ini
adalah generasi yang terbuai dengan kepentingan untuk memerdekaan diri sendiri
padahal kebebasan individu dibatasi dengan kebebasan individu lainnya.
Generasi hari ini
adalah generasi praktis yang tidak melihat esensi nasionalis pada sejarah
perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang hanya menangisi dan menertawai nasib
tanpa ikut berikhitiar merubah arah masa depan Indonesia.
Generasi hari ini
adalah generasi yang melupakan cita-cita bangsa masa lalu, kehilangan kepekaan
terhadap sejarah.
Generasi hari ini
adalah generasi yang membuat darah, air mata, serta tulang belulang para pejuang
masa lalu menjadi sepenggal cerita (dongeng).
Sebab generasi hari ini bukan
hanya tentang saya bung, tapi generasi itu adalah KITA !!
Comments
Post a Comment