TUAN TAPA
Rantauan "Putra" Papua
Kejadian ini bukan pertama kali tetapi kurang lebih 7x aku di “persulit” pada penerimaan kerja – baru tahapan menerima berkas lamaran kerja loh – khususnya oleh panitia penerimaan kerja di
Dan jauh sebelum anda menghakimi Naruto sebagai orang yg tdk
sabaran – Tak ada angka pasti atau riset studi mengenai sejauh mana batas
kesabaran seseorang? – Aku akan menguraikan kalimat “dipersulit” sesuai apa yg
aku alami. Sehingga tak ada maksud menghina atau ingin mencermarkan institusi
manapun.
Persoalan siapa yg benar atau salah, ku kembalikan pada pemahaman
kalian masing-masing. Namun sebelumnya, pembaca budiman terlebih dahulu
mengenal aturan yg berlaku, latar belakang serta permasalahannya sebagai
refleksi diri yg kritis dalam pertimbangan suatu keputusan.
Aturan yg Berlaku & Tingkat Pencaker
Di Papua, ada aturan hukum pemerintah UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus mengenai Masyarakat asli Papua yg di prioritaskan sebagai
berikut : (a) Berasal dari asli Papua (kedua orang tua asli Papua); (b) Salah
satu orang tua asli Papua; (c) Bukan asli Papua tetapi menikah dengan orang
asli Papua; (d) Bukan asli Papua tetapi telah tinggal di Papua selama minimal
10 tahun (dibuktikan dengan latar belakang pendidikan atau syarat resmi dari
instansi terkait yg menyebutkan rentang waktu tinggal).
Selanjutnya pada aturan kebijakan perusahaan-perusahaan besar
seperti KMT, Freeport, LNG Tangguh, JOB, ANG, hingga Kontraktor lsb.
Kebijakan itu disebut RING (lingkaran) definisinya ialah pemberian peluang
pekerjaan sesuai cakupan wilayah dan kuota pekerjaan kepada masyarakat sekitar,
tergantung kebutuhan perusahaan.
Adapun klasifikasinya terbagi dalam 4 jenis yaitu : (a) Ring 1
yaitu wilayah yg dekat dengan lokasi operasional perusahaan itu berada; (b)
Ring 2 untuk wilayah lebih jauh karena kebutuhan pekerja lebih banyak namun
pelamar yg sedikit; (c) Ring 3 adalah wilayahnya lebih jauh lagi karena mengisi
kekosongan pada Ring 1 dan 2; dan (d) Ring 4 merupakan sebuah hak istimewa
kepada karyawan pensiunan karena pengabdiannya yg telah bekerja diatas 25 tahun
dengan menunjuk 1 orang dari keluarganya sebagai penggantinya.
Analogiku Ring 1-3 ada dua hal : Pertama, luas wilayah. seperti
Ring 1 tingkat Kelurahan, Ring 2 seperti Kecamatan, dan Ring 3 seperti
Kabupaten; Kedua, Kuota. ibarat perusahaan membutuhkan personel kerja dengan
jumlah 100 orang, maka Ring 1 mendapatkan jatah sekitar 45 orang, Ring 2
berkisar 30 orang, dan Ring 3 mendapat jatah 20 orang; dan sisanya 5 orang,
ialah Ring 4.
Dari sini kita bisa melihat setiap Ring maupun aturan pemerintah
untuk masyarakat asli Papua yg diprioritas secara tdk langsung memberikan
peluang yg besar kepada kita (masyarakat sekitar) tentunya dengan syarat-syarat
yg berlaku. Yang menarik adalah bagaimana rekonsiliasi aturan pemerintah (prioritas
masyarakat asli Papua) dengan kebijakan perusahaan (tentang Ring) di regulasi
sehingga mempermudah dan berdampak pada masyarakat pencaker sekitar?
Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di Papua dan
Papua Barat yg dimuat pada situs : databoks.katadata.co.id (11/9/2019),
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terlihat pada tabel dibawah ini :
Ket
:
|
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) Di Papua
|
|||||
Tahun
:
|
2014
|
2015
|
2016
|
2017
|
2018
|
2019
|
Februari
|
3.48%
|
3.72%
|
2.96%
|
3.96%
|
2.91%
|
3.42%
|
Agustus
|
3.44%
|
3.98%
|
3.35%
|
3.62%
|
3.2%
|
x
|
Feb-Aug
|
-0.04%
|
0.26%
|
0.39%
|
-0.34%
|
0.29%
|
x
|
Feb
Tahunan
|
0.24%
|
1%
|
0.51%
|
|||
Aug
Tahunan
|
0.54%
|
0.27%
|
Not
Avaible
|
Ket
:
|
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) Di Papua Barat
|
||||||
Tahun
:
|
2014
|
2015
|
2016
|
2017
|
2018
|
2019
|
|
Februari
|
3.69%
|
4.61%
|
5.73%
|
7.51%
|
5.66%
|
5.28%
|
|
Agustus
|
5.01%
|
8.07%
|
7.46%
|
6.49%
|
6.3%
|
x
|
|
Feb-Aug
|
1.32%
|
3.46%
|
1.73%
|
-1.02%
|
0.64%
|
x
|
|
Feb
Tahunan
|
0.92%
|
1.78%
|
-0.38%
|
||||
Aug
Tahunan
|
3.06%
|
-0.97%
|
Not
Avaible
|
||||
Melalui tabel data BPS diatas dapat di analisa, bahwa Provinsi
Papua 5 tahun terakhir, sejak Februari 2014 sampai dengan Februari
2019 berkisar 3,4%, dan Agustus 2014 sampai dengan Agustus 2018 berkisar 3,5%.
Sementara di Provinsi Papua Barat, 5 tahun terakhir mulai dari Februari 2014
hingga Februari 2019 sekitar 5,4% dan Agustus 2014 hingga Agustus 2018 sekitar
6.7%, sehingga jika dibandingkan antara Provinsi Papua dan Papua Barat, angka
pengangguran lebih tinggi di Papua Barat, untuk Februari mencapai 2,0%,
sementara Agustus berkisar 3,1%. Sehingga bisa di tarik kesimpulan, bahwa angka
pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun, khususnya di Papua Barat.
Data terakhir, bulan Juli tahun 2018 oleh BPS Kota Sorong tercatat jumlah
penduduk Kota Sorong yakni sebesar 247.082 jiwa, jumlah penganggurannya sekitar
11,20% dari jumlah penduduk yaitu mencapai 27.673 jiwa.
Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah Perusahaan yg ada di
Provinsi Papua Barat. Menurut hasil pendaftaran Sosial Ekonomi 2016 (SE2016) tercatat
ada 73.629 usaha (non pertanian) yg terbagi dalam 15 kategori jenis usaha
menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2015. Bila dibedakan
menurut skala usaha terdapat 72.070 Usaha Mikro Kecil (UMK) dan 1.620 Usaha
Menengah Besar (UMB) dapat di lihat dalam tabel berikut :
Lapangan Usaha
|
UMK
|
UMB
|
Jumlah
|
Distrib
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
1. Pertambangan dan penggalian
|
992
|
16
|
1.008
|
1,37
|
2. Industri
|
4.514
|
44
|
4.558
|
6,19
|
3. Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas dan Udara Air Dingin
|
55
|
35
|
90
|
0,12
|
4. Pengelolaan Air, Limbah, Daur Ulang Sampah, Aktivitas
Ramediasi
|
89
|
10
|
99
|
0,13
|
5. Konstruksi
|
1.368
|
497
|
1.865
|
2,53
|
6. Perdagangan Besar / Enceran, Reparasi, perawatan Mobil &
Sepeda Motor
|
39.634
|
359
|
39.993
|
54,27
|
7. Pengangkutan & Pergudangan
|
6.448
|
164
|
6.612
|
8,97
|
8. Penyedia Akomodasi & Penyediaan Makan Minum
|
10.774
|
53
|
10.797
|
14,65
|
9. Informasi & Komunikasi
|
1.321
|
33
|
1.354
|
1,84
|
10. Aktivitas keuangan & Asuransi
|
232
|
245
|
477
|
0,65
|
11. Real Estate
|
625
|
12
|
637
|
0,86
|
12. M, N, Jasa Perusahaan
|
1.066
|
81
|
1.147
|
1,56
|
13. Pendidikan
|
2.102
|
32
|
2.134
|
2,90
|
14. Aktivitas Kesehatan Manusia & Aktivitas Sosial
|
804
|
16
|
820
|
1,11
|
15. RSU dan Jasa Lainnya
|
2.077
|
24
|
2.101
|
2,85
|
Jumlah
|
72.071
|
1.621
|
73.629
|
100,00
|
Percentase
|
97,80%
|
2,20%
|
100%
|
Jumlah Usaha menurut kategori Lapangan Usaha dan Skala Usaha
Di Prov. Papua Barat Tahun 2016
Jika dianalisis jenis usaha terbanyak untuk skala UMK cenderung
pada bidang No. 6 sedangkan skala UMB cenderung pada bidang No. 5, selanjutnya
untuk jenis usaha paling sedikit skala UMK pada bidang No. 3 kemudian di UMB
pada bidang No. 4
Kabupaten/Kota Madya
|
UMK
|
UMB
|
Jumlah
|
Distribusi
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
1. Fak-Fak
|
5.048
|
133
|
5.181
|
7,03
|
2. Kaimana
|
3.607
|
67
|
3.674
|
4,99
|
3. Teluk Wondama
|
2.658
|
17
|
2.675
|
3,63
|
4. Teluk Bintuni
|
5.274
|
89
|
5.363
|
7,28
|
5. Manokwari
|
14.321
|
456
|
14.786
|
20,06
|
6. Sorong Selatan
|
3.158
|
61
|
3.219
|
4,37
|
7. Sorong
|
7.862
|
151
|
8.013
|
10,87
|
8. Raja Ampat
|
3.293
|
69
|
3.362
|
4,37
|
9. Tembrauw
|
634
|
5
|
639
|
0,87
|
10. Maybrat
|
1.480
|
7
|
1.487
|
2,02
|
11. Manokwari Selatan
|
1.729
|
9
|
1.738
|
2,36
|
12. Pegunungan Arfak
|
552
|
2
|
554
|
0,75
|
13. Kota Sorong
|
22.445
|
546
|
23.001
|
31,21
|
Provinsi Papua Barat
|
72.071
|
1.621
|
73.692
|
100,00
|
97,80%
|
2,19%
|
100%
|
Jumlah Usaha menurut Skala Usaha dan Kabupaten/Kota
Di Prov. Papua Barat Tahun 2016
Melalui tabel diatas, jika dianalisis, khususnya sekitar wilayah
Sorong seperti Kota Sorong, Kab. Sorong, Kab. Sorong Selatan terdapat 33.465
UMK dan 758 UMB. jumlah yg fantastis, bukan?
Jika analisis perbandingan antara jumlah perusahaan baik UMK
maupun UMB pada Tingkat Pengangguran Terbuka khususnya untuk wilayah Kota
Sorong, maka mampu mengurangi sekitar 63% dari total TPT.
Yang unik justu sering terjadi reaksi tuntutan untuk mendapatkan
suatu pekerjaan justru datang dari masyarakat asli Papua khususnya poin (a)
hingga (c), tdk sampai poin (d) – karena kejadian yg aku alami serta tak
terlihatnya aksi tuntutan sepertiku – semacam ada sekat perbedaan yg tumpang
tindih sehingga setiap poin saling menuding karena mendapatkan hak yg lebih.
Bukan sebaliknya, bersatu dengan kesadaran yg sama, bahwa apa yg
kurang dari diri kita masing-masing? Seperti melihat peluang untuk keahlian
masing-masing. Barangkali karena arus migrasi – pengaruh TPT luar daerah –
terus dilakukan oleh perusahaan sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan
bagi putra daerah menjadi berkurang. Atau sedikit saja kita mau berpikir dan
beranalisa poin (a) hingga (d) ialah sama-sama korban oligarki pemerintah dan
perusahaan?
Problematika Rantauan Putra Papua
Sebagai anak pertama dari 3 bersaudara yg lahir di tahun 1990.
Meski bukan lahir di tanah Papua khususnya Kota Sorong seperti kedua adikku –
karena kebiasan orang tua jaman dulu dimana setiap anak pertama “wajib” lahir
di Kampung halaman ibunya – tetapi sejak usia 3 bulan, aku telah dirawat
disini. Sama halnya dengan kedua adikku, jenjang pendidikan kami sejak TK
hingga SMA tetap disini. Tak jauh berbeda dengan masyarakat asli Papua terima.
Malanu ialah nama sebuah lokasi dominan mereka barangkali karena dekat
dengan daerah pegunungan. Hutan, gunung, dan sungai, ialah tempat kami selalu
bermain dan belajar. Jauh sebelum hadirnya “Pembangunan”. Antara belajar di
Sekolah atau belajar di Alam, kami lebih nyaman dengan alam, seolah Alam lebih
mengerti ketimbang guru-guru kami di Sekolah.
Ayahku mulai tinggal di Kota ini sejak tahun 1975. Saat itu beliau
bekerja sebagai teknisi elektro (ahli rewinding) di Petromine
Energy Corporation – salah satu perusahaan migas cukup tua di
Papua, yg telah berganti-ganti pemilik saham diantaranya Petromine,
Santa Fe, Petro China, hingga kini menjadi Petrogas– yg
terletak di KMT (Kasim Marine Terminal) Sele Sorong.
Pada tahun 2012, akhirnya beliau pensiun. Saya sering mendengar
cerita perjuangan beliau saat pertama kali di lokasi kerja, dimana masih hutan
belantara, Camp mereka hanya beratap tenda, beralaskan rumput
liar atau kulit pohon yg kering. Sehingga banyak karyawan menyerah dan paling
parah hingga ada korban jiwa akibat serangan penyakit malaria dan kecelakaan
kerja (minim pengetahuan Safety). Pengabdiannya sekitar 37 tahun.
Bisa anda bayangkan, jika pengabdian itu ibarat anak manusia barangkali ia
telah berkeluarga & berketurunan. Ajaib,kan?
Saat itu jumlah kami sebagai pendatang – saya canggung menyebut
pendatang – hanya sedikit ketimbang mereka. Tak heran, bahasa sehari-hari kami
seperti halnya bahasa sehari-hari mereka. Ibarat antara kata “kamu” dan “ko”
atau “kalian” dengan “kamorang”, sy lebih sering menggunakan kata “ko” dan
“kamorang”. Seperti halnya makanan pokok yaitu Kasbi (singkong), Petatas (ubi
jalar), hingga Papeda ialah favorit kami, jauh sebelum raskin (bera miskin)
datang.
Secara pribadi, sy merasa telah menjadi bagian dari mereka sebagai
putra daerah dari Kota Sorong. Aku memang bukan dari ras asli Papua. Kedua
orang tuaku asli dari suku Gorontalo-Campuran – ada Arab-Makassar juga – tetapi
sebagai anak rantau yg di besarkan di tanah ini, sy cenderung menyebut diri
sebagai “putra Papua” ketimbang “putra Gorontalo”. Hal ini bukan tanpa suatu
alasan atau identitas diri yg keliru. Sebab pengetahuanku akan Gorontalo
sangatlah minim terutama ritual seni budaya ataupun bahasa daerahnya kecuali
makanan khasnya seperti Binte, Bilethango, Ilabulo, Lalampa, Es Brenebon,
Saraba, dll. Cukup! Kok sa jadi lapar?
Kekhawatiran ini pun berlanjut (sebagai Putra Papua) ketika lulus
SMA dan melanjutkan studi keluar kota, Manado ialah tempatku menyelesaikan
kuliah Strata Satu. Dalam suatu moment saat pertama kali memperkenalkan diri
sebagai putra asal Papua, semua teman kelasku semacam tdk percaya/kurang yakin
bahwa sy berasal dari Papua. Menurut mereka penampilanku sama sekali tdk
menunjukan identitas Papua. Barangkali dimata mereka, Papua itu harus
beridentitas “Hitam kulit, Keriting rambut, Aku Papua” seperti
salah satu bait dari syair lagu Aku Papua karya Frankly
Sahilatua yg dipopulerkan oleh penyanyi asal Papua, Edo Kondologit.
Menurutku, lagu tersebut punya pesan keberagaman & persatuan
yg mendalam bahwa masyarakat Asli Papua juga bagian dari “Indonesia”. Sayangnya,
dalam potongan lirik bernarasi Eufemisme Rasial bahwa menjadi Papua adalah
kulitnya hitam & rambutnya keriting. Seakan identitas hanya dilihat dari
bentuk fisik semata.
Lantas, bagaimana dengan kami putra-putri rantauan yg di lahirkan,
di besarkan puluhan tahun, hingga disemayamkan disini, atau perkawinan silang
dan juga faktor kelainan genetik seperti albino, rambut ikal. Bukankah kita tak
bisa meminta untuk dilahirkan disuatu tempat, disuatu ras/suku, maupun kondisi
fisik yg diinginkan karena semua itu adalah anugerah-Nya?
Akhirnya sy bisa memahami bagaimana rasanya sebagai putra rantau
seperti Zainudin yg terusir dan diasingkan – tokoh utama dalam
film Tenggalamnya Kapal Van der Wijck yg diangkat dari Novel
Buya Hamka – dikampung halamannya sendiri. Di Gorontalo sy dianggap Putra
Papua, sementara Di Papua sy dianggap Putra Gorontalo. Banyak orang yg berkata,
perjuangan si anak rantau ialah melawan dan menahan rindu akan kampung
halamannya. Tetapi bagaimana dengan kami putra-putri dari si anak rantau itu yg
justru terusir dan terasing di kampung halamannya sendiri? artinya ia tak
dirindukan di kampung halamannya, bisa kau bayangkan?
Seperti beberapa kesempatan saat mencoba peluang tuk melamar
pekerjaan melalui salah satu instansi terkait (baca : paragraf awal tulisan di
akhir kalimat). Setiap giliranku mengajukan berkas lamaran, pertanyaan yg
selalu saja ditanyakan dan berulang-ulang ialah asli suku mana? Tinggal dimana?
Sudah berapa lama? Hingga ada saja berkas yg kurang “menurut” mereka, yg sejatinya
tidak tercantum dalam syarat berkas pendaftaran. Akhirnya karena sering
diperlakukan seperti itu, aku pun bertanya balik pada mereka, Ini mau cari
pekerjaan atau mencari nama suku-suku pencaker?
Maksudku, jika mereka sebagai penanggung jawab dalam klasifikasi
penerimaan berkas lamaran kerja, maka tupoksinya (tugas pokok & fungsi)
sebatas untuk klarifikasi sejumlah syarat berkas yg diterima. Dengan menguji
legalitas (keaslian) berkas tersebut, agar terhindar pemalsuan Ijazah,
sertifikat keahlian, maupun pengalaman kerja. Toh, ada tahapan-tahapan
selanjutnya seperti lolos berkas administrasi, interview, psiko tes, hingga MCU
(Medical Check Up) yg merupakan kewenangan perusahaan saat membuka
lowongan pekerjaan sesuai syarat yg berlaku.
Dan jika mereka sebagai badan tuk mendata jumlah pencari kerja
khususnya untuk masyarakat asli papua – UU no 22 Tahun 2001– maka seharusnya yg
perlu diperbaiki ialah mekanisme bentuk pendataannya, seperti penerbitan Kartu
Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (KTBPPK) dengan klasifikasi 4 warna yg
berbeda-beda. Sehingga tidak ada tumpang tinding antara masyarakat yg
diprioritaskan dan bukan prioritas. Lantas, bagaimana metodenya? Tentu
membutuhkan sejumlah berkas, seperti Akte Lahir, Buku Nikah, KK, KTP, Ijazah
Pendidikan, dan Surat pengantar resmi dari instansi terkait yg menyebutkan
waktu rentang tinggal. Lalu bagaimana dengan yg bukan prioritas? Yg bukan
prioritas diberikan Surat Keterangan Pendaftaran Pencari Kerja (SKPPK) sehingga
terlihat perbedaannya.
Jika persoalannya terletak pada keahlian masyarakat prioritas dan
bukan prioritas. Maka seharusnya Pemerintah dengan sejumlah Perusahaan besar
terlebih dahulu membuat MoU (Momarandum of Understandiing) dimana
salah satu kesepakatannya tercantum Masyarakat asli Papua (MAP) wajib mempunyai
keahlian atau latar belakang pendidikan sesuai bidang kebutuhan Perusahaan.
Apabila tidak ada yg memenuhi persyaratan, MAP harus berlapang dada dan
memberikan kesempatan kepada yg bukan prioritas tuk mendapatkan peluang tersebut.
Pemerintah dan Perusahaan harus memberikan jaminan serta sanksi tegas kepada
penyelengara jika melakukan penyelewengan terhadap mekanismenya.
Melalui salah satu kesepakatan tersebut, akhirnya Pemerintah bisa
kampanyekan atau sosialisasi kepada putra-putri daerah agar kecenderungan minat
pada bidang-bidang teknik maupun industri (Eksakta) dalam jenjang studinya
maupun pelatihan keahlian. Karena menurutku sangat sedikit MAP tertarik dengan
jurusan tersebut. Sementara untuk Sosial-Politik sudah terlampau banyak. Jadi,
tak perlu heran ketika banyak kepentingan yg terlibat di dalamnya.
Secara pribadi, sy bisa saja menggunakan hak prerogative (hak istimewa)
melalui kebijakan pemerintah UU No 22 Tahun 2001 poin (d) karena sudah lebih
dari 10 tahun di Papua khususnya Kota Sorong bersamaan dengan Ring 4 kebijakan
perusahaan tempat ayahku bekerja, karena pengabdiannya telah lebih dari 30
Tahun. Akan tetapi sy tidak menggunakannya, karena menyadari bahwa bidang
keahlian maupun pengalaman kerja yg dibutuhkan bukan pada bidang yg pernah saya
jalani sebelumnya. Disini, saya hanya menuntut persoalan transparansi dan
metode implementasinya, agar terhindar dari penyelewengan antara prioritas dan
bukan prioritas dari oligarki perusahaan maupun pemerintah setempat, sehingga
terdapat kesadaran yg sama dalam melihat suatu peluang yg ada.
Contoh kasus, ketika yg dibuka peluang kerja sebagai Operator
Crane, Exca, Dump Truck dll. Sementara saya dengan basic studi dan pengalaman
kerja di bidang administrasi ataupun urusan perkantoran, secara otomatis dengan
kesadaran diri melihat bahwa tak ada peluang maupun keahlian untuk melamar
pekerjaan tersebut sehingga tak ada kemungkinan untukku bisa diterima. Kecuali
tanpa suatu alasan, tanpa syarat suatu berkas, tes keahlian sesuai aturan
pemerintah maupun Ring perusahaan, tiba-tiba saja bisa diterima sebagai
Operator. Maka tanpa harus kalian menentang atau menyalahkanku.
Aku takkan pernah mau mengambil kesempatan itu, yg harus kalian
salahkan ialah panitia perekrutan/penyelenggara. Karena bagaimana mungkin sy
tak pernah melamar pekerjaan tersebut, justru bisa diterima?
Jangan yg salah dibenarkan dan yg benar disalahkan. Itu goblok
kronis namanya. Sebab aku diajarkan untuk tdk mengambil yg bukan
Hakku, tetapi akan melawan dengan seluruh nyawaku jika itu adalah menjadi
Hakku. Camkan itu! Uchiha Sasuke...
Comments
Post a Comment