TUAN TAPA


Rantauan "Putra" Papua

Kejadian ini bukan pertama kali tetapi kurang lebih 7x aku di “persulit” pada penerimaan kerja – baru tahapan menerima berkas lamaran kerja loh – khususnya oleh panitia penerimaan kerja di Disnaker Kota Sorong. Sebagai pencaker kurang lebih 5 bulan secara terus menerus tetap berusaha dan masih percaya akan peluang suatu hari nanti akan mendapatkan pekerjaan seperti yg diharapkan, tetapi hingga tulisan ini di muat, harapan dan kesabaranku pun mulai habis.

Dan jauh sebelum anda menghakimi Naruto sebagai orang yg tdk sabaran – Tak ada angka pasti atau riset studi mengenai sejauh mana batas kesabaran seseorang? – Aku akan menguraikan kalimat “dipersulit” sesuai apa yg aku alami. Sehingga tak ada maksud menghina atau ingin mencermarkan institusi manapun.

Persoalan siapa yg benar atau salah, ku kembalikan pada pemahaman kalian masing-masing. Namun sebelumnya, pembaca budiman terlebih dahulu mengenal aturan yg berlaku, latar belakang serta permasalahannya sebagai refleksi diri yg kritis dalam pertimbangan suatu keputusan.

Aturan yg Berlaku & Tingkat Pencaker

Di Papua, ada aturan hukum pemerintah UU No. 22 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus mengenai Masyarakat asli Papua yg di prioritaskan sebagai berikut : (a) Berasal dari asli Papua (kedua orang tua asli Papua); (b) Salah satu orang tua asli Papua; (c) Bukan asli Papua tetapi menikah dengan orang asli Papua; (d) Bukan asli Papua tetapi telah tinggal di Papua selama minimal 10 tahun (dibuktikan dengan latar belakang pendidikan atau syarat resmi dari instansi terkait yg menyebutkan rentang waktu tinggal).

Selanjutnya pada aturan kebijakan perusahaan-perusahaan besar seperti KMT, Freeport, LNG Tangguh, JOB, ANG, hingga Kontraktor lsb. Kebijakan itu disebut RING (lingkaran) definisinya ialah pemberian peluang pekerjaan sesuai cakupan wilayah dan kuota pekerjaan kepada masyarakat sekitar, tergantung kebutuhan perusahaan.

Adapun klasifikasinya terbagi dalam 4 jenis yaitu : (a) Ring 1 yaitu wilayah yg dekat dengan lokasi operasional perusahaan itu berada; (b) Ring 2 untuk wilayah lebih jauh karena kebutuhan pekerja lebih banyak namun pelamar yg sedikit; (c) Ring 3 adalah wilayahnya lebih jauh lagi karena mengisi kekosongan pada Ring 1 dan 2; dan (d) Ring 4 merupakan sebuah hak istimewa kepada karyawan pensiunan karena pengabdiannya yg telah bekerja diatas 25 tahun dengan menunjuk 1 orang dari keluarganya sebagai penggantinya.

Analogiku Ring 1-3 ada dua hal : Pertama, luas wilayah. seperti Ring 1 tingkat Kelurahan, Ring 2 seperti Kecamatan, dan Ring 3 seperti Kabupaten; Kedua, Kuota. ibarat perusahaan membutuhkan personel kerja dengan jumlah 100 orang, maka Ring 1 mendapatkan jatah sekitar 45 orang, Ring 2 berkisar 30 orang, dan Ring 3 mendapat jatah 20 orang; dan sisanya 5 orang, ialah Ring 4.

Dari sini kita bisa melihat setiap Ring maupun aturan pemerintah untuk masyarakat asli Papua yg diprioritas secara tdk langsung memberikan peluang yg besar kepada kita (masyarakat sekitar) tentunya dengan syarat-syarat yg berlaku. Yang menarik adalah bagaimana rekonsiliasi aturan pemerintah (prioritas masyarakat asli Papua) dengan kebijakan perusahaan (tentang Ring) di regulasi sehingga mempermudah dan berdampak pada masyarakat pencaker sekitar?

Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di Papua dan Papua Barat yg dimuat pada situs : databoks.katadata.co.id (11/9/2019), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terlihat pada tabel dibawah ini :

Ket :
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Di Papua
Tahun :
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Februari
3.48%
3.72%
2.96%
3.96%
2.91%
3.42%
Agustus
3.44%
3.98%
3.35%
3.62%
3.2%
x
Feb-Aug
-0.04%
0.26%
0.39%
-0.34%
0.29%
x
Feb Tahunan
0.24%
1%
0.51%
Aug Tahunan
0.54%
0.27%
Not Avaible

Ket :
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Di Papua Barat
Tahun :
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Februari
3.69%
4.61%
5.73%
7.51%
5.66%
5.28%
Agustus
5.01%
8.07%
7.46%
6.49%
6.3%
x
Feb-Aug
1.32%
3.46%
1.73%
-1.02%
0.64%
x
Feb Tahunan
0.92%
1.78%
-0.38%
Aug Tahunan
3.06%
-0.97%
Not Avaible

Melalui tabel data BPS diatas dapat di analisa, bahwa Provinsi Papua 5 tahun terakhir, sejak Februari 2014 sampai dengan  Februari 2019 berkisar 3,4%, dan Agustus 2014 sampai dengan Agustus 2018 berkisar 3,5%. Sementara di Provinsi Papua Barat, 5 tahun terakhir mulai dari Februari 2014 hingga Februari 2019 sekitar 5,4% dan Agustus 2014 hingga Agustus 2018 sekitar 6.7%, sehingga jika dibandingkan antara Provinsi Papua dan Papua Barat, angka pengangguran lebih tinggi di Papua Barat, untuk Februari mencapai 2,0%, sementara Agustus berkisar 3,1%. Sehingga bisa di tarik kesimpulan, bahwa angka pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun, khususnya di Papua Barat. Data terakhir, bulan Juli tahun 2018 oleh BPS Kota Sorong tercatat jumlah penduduk Kota Sorong yakni sebesar 247.082 jiwa, jumlah penganggurannya sekitar 11,20% dari jumlah penduduk yaitu mencapai 27.673 jiwa.

Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah Perusahaan yg ada di Provinsi Papua Barat. Menurut hasil pendaftaran Sosial Ekonomi 2016 (SE2016) tercatat ada 73.629 usaha (non pertanian) yg terbagi dalam 15 kategori jenis usaha menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2015. Bila dibedakan menurut skala usaha terdapat 72.070 Usaha Mikro Kecil (UMK) dan 1.620 Usaha Menengah Besar (UMB) dapat di lihat dalam tabel berikut :

Lapangan Usaha
UMK
UMB
Jumlah
Distrib
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1. Pertambangan dan penggalian
992
16
1.008
1,37
2. Industri
4.514
44
4.558
6,19
3. Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas dan Udara Air Dingin
55
35
90
0,12
4. Pengelolaan Air, Limbah, Daur Ulang Sampah, Aktivitas Ramediasi
89
10
99
0,13
5. Konstruksi
1.368
497
1.865
2,53
6. Perdagangan Besar / Enceran, Reparasi, perawatan Mobil & Sepeda Motor
39.634
359
39.993
54,27
7. Pengangkutan & Pergudangan
6.448
164
6.612
8,97
8. Penyedia Akomodasi & Penyediaan Makan Minum
10.774
53
10.797
14,65
9. Informasi & Komunikasi
1.321
33
1.354
1,84
10. Aktivitas keuangan & Asuransi
232
245
477
0,65
11. Real Estate
625
12
637
0,86
12. M, N, Jasa Perusahaan
1.066
81
1.147
1,56
13. Pendidikan
2.102
32
2.134
2,90
14. Aktivitas Kesehatan Manusia & Aktivitas Sosial
804
16
820
1,11
15. RSU dan Jasa Lainnya
2.077
24
2.101
2,85
Jumlah
72.071
1.621
73.629
100,00
Percentase
97,80%
2,20%
100%
Jumlah Usaha menurut kategori Lapangan Usaha dan Skala Usaha
Di Prov. Papua Barat Tahun 2016

Jika dianalisis jenis usaha terbanyak untuk skala UMK cenderung pada bidang No. 6 sedangkan skala UMB cenderung pada bidang No. 5, selanjutnya untuk jenis usaha paling sedikit skala UMK pada bidang No. 3 kemudian di UMB pada bidang No. 4

Kabupaten/Kota Madya
UMK
UMB
Jumlah
Distribusi
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1. Fak-Fak
5.048
133
5.181
7,03
2. Kaimana
3.607
67
3.674
4,99
3. Teluk Wondama
2.658
17
2.675
3,63
4. Teluk Bintuni
5.274
89
5.363
7,28
5. Manokwari
14.321
456
14.786
20,06
6. Sorong Selatan
3.158
61
3.219
4,37
7. Sorong
7.862
151
8.013
10,87
8. Raja Ampat
3.293
69
3.362
4,37
9. Tembrauw
634
5
639
0,87
10. Maybrat
1.480
7
1.487
2,02
11. Manokwari Selatan
1.729
9
1.738
2,36
12. Pegunungan Arfak
552
2
554
0,75
13. Kota Sorong
22.445
546
23.001
31,21
Provinsi Papua Barat
72.071
1.621
73.692
100,00
97,80%
2,19%
100%
Jumlah Usaha menurut Skala Usaha dan Kabupaten/Kota
Di Prov. Papua Barat Tahun 2016

Melalui tabel diatas, jika dianalisis, khususnya sekitar wilayah Sorong seperti Kota Sorong, Kab. Sorong, Kab. Sorong Selatan terdapat 33.465 UMK dan 758 UMB. jumlah yg fantastis, bukan?

Jika analisis perbandingan antara jumlah perusahaan baik UMK maupun UMB pada Tingkat Pengangguran Terbuka khususnya untuk wilayah Kota Sorong, maka mampu mengurangi sekitar 63% dari total TPT.

Yang unik justu sering terjadi reaksi tuntutan untuk mendapatkan suatu pekerjaan justru datang dari masyarakat asli Papua khususnya poin (a) hingga (c), tdk sampai poin (d) – karena kejadian yg aku alami serta tak terlihatnya aksi tuntutan sepertiku – semacam ada sekat perbedaan yg tumpang tindih sehingga setiap poin saling menuding karena mendapatkan hak yg lebih.

Bukan sebaliknya, bersatu dengan kesadaran yg sama, bahwa apa yg kurang dari diri kita masing-masing? Seperti melihat peluang untuk keahlian masing-masing. Barangkali karena arus migrasi – pengaruh TPT luar daerah – terus dilakukan oleh perusahaan sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan bagi putra daerah menjadi berkurang. Atau sedikit saja kita mau berpikir dan beranalisa poin (a) hingga (d) ialah sama-sama korban oligarki pemerintah dan perusahaan?



Problematika Rantauan Putra Papua

Sebagai anak pertama dari 3 bersaudara yg lahir di tahun 1990. Meski bukan lahir di tanah Papua khususnya Kota Sorong seperti kedua adikku – karena kebiasan orang tua jaman dulu dimana setiap anak pertama “wajib” lahir di Kampung halaman ibunya – tetapi sejak usia 3 bulan, aku telah dirawat disini. Sama halnya dengan kedua adikku, jenjang pendidikan kami sejak TK hingga SMA tetap disini. Tak jauh berbeda dengan masyarakat asli Papua terima.

Malanu ialah nama sebuah lokasi dominan mereka barangkali karena dekat dengan daerah pegunungan. Hutan, gunung, dan sungai, ialah tempat kami selalu bermain dan belajar. Jauh sebelum hadirnya “Pembangunan”. Antara belajar di Sekolah atau belajar di Alam, kami lebih nyaman dengan alam, seolah Alam lebih mengerti ketimbang guru-guru kami di Sekolah.

Ayahku mulai tinggal di Kota ini sejak tahun 1975. Saat itu beliau bekerja sebagai teknisi elektro (ahli rewinding) di Petromine Energy Corporation – salah satu perusahaan migas cukup tua di Papua, yg telah berganti-ganti pemilik saham diantaranya Petromine, Santa Fe, Petro China, hingga kini menjadi Petrogas– yg terletak di KMT (Kasim Marine Terminal) Sele Sorong.

Pada tahun 2012, akhirnya beliau pensiun. Saya sering mendengar cerita perjuangan beliau saat pertama kali di lokasi kerja, dimana masih hutan belantara, Camp mereka hanya beratap tenda, beralaskan rumput liar atau kulit pohon yg kering. Sehingga banyak karyawan menyerah dan paling parah hingga ada korban jiwa akibat serangan penyakit malaria dan kecelakaan kerja (minim pengetahuan Safety). Pengabdiannya sekitar 37 tahun. Bisa anda bayangkan, jika pengabdian itu ibarat anak manusia barangkali ia telah berkeluarga & berketurunan. Ajaib,kan?

Saat itu jumlah kami sebagai pendatang – saya canggung menyebut pendatang – hanya sedikit ketimbang mereka. Tak heran, bahasa sehari-hari kami seperti halnya bahasa sehari-hari mereka. Ibarat antara kata “kamu” dan “ko” atau “kalian” dengan “kamorang”, sy lebih sering menggunakan kata “ko” dan “kamorang”. Seperti halnya makanan pokok yaitu Kasbi (singkong), Petatas (ubi jalar), hingga Papeda ialah favorit kami, jauh sebelum raskin (bera miskin) datang.

Secara pribadi, sy merasa telah menjadi bagian dari mereka sebagai putra daerah dari Kota Sorong. Aku memang bukan dari ras asli Papua. Kedua orang tuaku asli dari suku Gorontalo-Campuran – ada Arab-Makassar juga – tetapi sebagai anak rantau yg di besarkan di tanah ini, sy cenderung menyebut diri sebagai “putra Papua” ketimbang “putra Gorontalo”. Hal ini bukan tanpa suatu alasan atau identitas diri yg keliru. Sebab pengetahuanku akan Gorontalo sangatlah minim terutama ritual seni budaya ataupun bahasa daerahnya kecuali makanan khasnya seperti Binte, Bilethango, Ilabulo, Lalampa, Es Brenebon, Saraba, dll. Cukup! Kok sa jadi lapar?

Kekhawatiran ini pun berlanjut (sebagai Putra Papua) ketika lulus SMA dan melanjutkan studi keluar kota, Manado ialah tempatku menyelesaikan kuliah Strata Satu. Dalam suatu moment saat pertama kali memperkenalkan diri sebagai putra asal Papua, semua teman kelasku semacam tdk percaya/kurang yakin bahwa sy berasal dari Papua. Menurut mereka penampilanku sama sekali tdk menunjukan identitas Papua. Barangkali dimata mereka, Papua itu harus beridentitas “Hitam kulit, Keriting rambut, Aku Papua” seperti salah satu bait dari syair lagu Aku Papua karya Frankly Sahilatua yg dipopulerkan oleh penyanyi asal Papua, Edo Kondologit.

Menurutku, lagu tersebut punya pesan keberagaman & persatuan yg mendalam bahwa masyarakat Asli Papua juga bagian dari “Indonesia”. Sayangnya, dalam potongan lirik bernarasi Eufemisme Rasial bahwa menjadi Papua adalah kulitnya hitam & rambutnya keriting. Seakan identitas hanya dilihat dari bentuk fisik semata.

Lantas, bagaimana dengan kami putra-putri rantauan yg di lahirkan, di besarkan puluhan tahun, hingga disemayamkan disini, atau perkawinan silang dan juga faktor kelainan genetik seperti albino, rambut ikal. Bukankah kita tak bisa meminta untuk dilahirkan disuatu tempat, disuatu ras/suku, maupun kondisi fisik yg diinginkan karena semua itu adalah anugerah-Nya?

Akhirnya sy bisa memahami bagaimana rasanya sebagai putra rantau seperti Zainudin yg terusir dan diasingkan –  tokoh utama dalam film Tenggalamnya Kapal Van der Wijck yg diangkat dari Novel Buya Hamka – dikampung halamannya sendiri. Di Gorontalo sy dianggap Putra Papua, sementara Di Papua sy dianggap Putra Gorontalo. Banyak orang yg berkata, perjuangan si anak rantau ialah melawan dan menahan rindu akan kampung halamannya. Tetapi bagaimana dengan kami putra-putri dari si anak rantau itu yg justru terusir dan terasing di kampung halamannya sendiri? artinya ia tak dirindukan di kampung halamannya, bisa kau bayangkan?

Seperti beberapa kesempatan saat mencoba peluang tuk melamar pekerjaan melalui salah satu instansi terkait (baca : paragraf awal tulisan di akhir kalimat). Setiap giliranku mengajukan berkas lamaran, pertanyaan yg selalu saja ditanyakan dan berulang-ulang ialah asli suku mana? Tinggal dimana? Sudah berapa lama? Hingga ada saja berkas yg kurang “menurut” mereka, yg sejatinya tidak tercantum dalam syarat berkas pendaftaran. Akhirnya karena sering diperlakukan seperti itu, aku pun bertanya balik pada mereka, Ini mau cari pekerjaan atau mencari nama suku-suku pencaker?

Maksudku, jika mereka sebagai penanggung jawab dalam klasifikasi penerimaan berkas lamaran kerja, maka tupoksinya (tugas pokok & fungsi) sebatas untuk klarifikasi sejumlah syarat berkas yg diterima. Dengan menguji legalitas (keaslian) berkas tersebut, agar terhindar pemalsuan Ijazah, sertifikat keahlian, maupun pengalaman kerja. Toh, ada tahapan-tahapan selanjutnya seperti lolos berkas administrasi, interview, psiko tes, hingga MCU (Medical Check Up) yg merupakan kewenangan perusahaan saat membuka lowongan pekerjaan sesuai syarat yg berlaku.

Dan jika mereka sebagai badan tuk mendata jumlah pencari kerja khususnya untuk masyarakat asli papua – UU no 22 Tahun 2001– maka seharusnya yg perlu diperbaiki ialah mekanisme bentuk pendataannya, seperti penerbitan Kartu Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja (KTBPPK) dengan klasifikasi 4 warna yg berbeda-beda. Sehingga tidak ada tumpang tinding antara masyarakat yg diprioritaskan dan bukan prioritas. Lantas, bagaimana metodenya? Tentu membutuhkan sejumlah berkas, seperti Akte Lahir, Buku Nikah, KK, KTP, Ijazah Pendidikan, dan Surat pengantar resmi dari instansi terkait yg menyebutkan waktu rentang tinggal. Lalu bagaimana dengan yg bukan prioritas? Yg bukan prioritas diberikan Surat Keterangan Pendaftaran Pencari Kerja (SKPPK) sehingga terlihat perbedaannya.

Jika persoalannya terletak pada keahlian masyarakat prioritas dan bukan prioritas. Maka seharusnya Pemerintah dengan sejumlah Perusahaan besar terlebih dahulu membuat MoU (Momarandum of Understandiing) dimana salah satu kesepakatannya tercantum Masyarakat asli Papua (MAP) wajib mempunyai keahlian atau latar belakang pendidikan sesuai bidang kebutuhan Perusahaan. Apabila tidak ada yg memenuhi persyaratan, MAP harus berlapang dada dan memberikan kesempatan kepada yg bukan prioritas tuk mendapatkan peluang tersebut. Pemerintah dan Perusahaan harus memberikan jaminan serta sanksi tegas kepada penyelengara jika melakukan penyelewengan terhadap mekanismenya.

Melalui salah satu kesepakatan tersebut, akhirnya Pemerintah bisa kampanyekan atau sosialisasi kepada putra-putri daerah agar kecenderungan minat pada bidang-bidang teknik maupun industri (Eksakta) dalam jenjang studinya maupun pelatihan keahlian. Karena menurutku sangat sedikit MAP tertarik dengan jurusan tersebut. Sementara untuk Sosial-Politik sudah terlampau banyak. Jadi, tak perlu heran ketika banyak kepentingan yg terlibat di dalamnya.

Secara pribadi, sy bisa saja menggunakan hak prerogative (hak istimewa) melalui kebijakan pemerintah UU No 22 Tahun 2001 poin (d) karena sudah lebih dari 10 tahun di Papua khususnya Kota Sorong bersamaan dengan Ring 4 kebijakan perusahaan tempat ayahku bekerja, karena pengabdiannya telah lebih dari 30 Tahun. Akan tetapi sy tidak menggunakannya, karena menyadari bahwa bidang keahlian maupun pengalaman kerja yg dibutuhkan bukan pada bidang yg pernah saya jalani sebelumnya. Disini, saya hanya menuntut persoalan transparansi dan metode implementasinya, agar terhindar dari penyelewengan antara prioritas dan bukan prioritas dari oligarki perusahaan maupun pemerintah setempat, sehingga terdapat kesadaran yg sama dalam melihat suatu peluang yg ada.

Contoh kasus, ketika yg dibuka peluang kerja sebagai Operator Crane, Exca, Dump Truck dll. Sementara saya dengan basic studi dan pengalaman kerja di bidang administrasi ataupun urusan perkantoran, secara otomatis dengan kesadaran diri melihat bahwa tak ada peluang maupun keahlian untuk melamar pekerjaan tersebut sehingga tak ada kemungkinan untukku bisa diterima. Kecuali tanpa suatu alasan, tanpa syarat suatu berkas, tes keahlian sesuai aturan pemerintah maupun Ring perusahaan, tiba-tiba saja bisa diterima sebagai Operator. Maka tanpa harus kalian menentang atau menyalahkanku.

Aku takkan pernah mau mengambil kesempatan itu, yg harus kalian salahkan ialah panitia perekrutan/penyelenggara. Karena bagaimana mungkin sy tak pernah melamar pekerjaan tersebut, justru bisa diterima?

Jangan yg salah dibenarkan dan yg benar disalahkan. Itu goblok kronis namanya. Sebab aku diajarkan untuk tdk mengambil  yg bukan Hakku, tetapi akan melawan dengan seluruh nyawaku jika itu adalah menjadi Hakku. Camkan itu! Uchiha Sasuke...

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA