KOPAS
Dalam
suatu kesempatan di media sosial khususnya postinganku mengenai konflik yang
terjadi di Papua hingga chaos, mengundang
reaksi sahabat yang menanggapi serta menilaiku seolah “mendukung” aksi tersebut.
Berikut isi postinganku :
*Salut dengan Aksi Solidaritas sahabat-sahabat Papua atas insiden persekusi di Surabaya-Malang hingga Chaos nya di wilayah sebagian Papua salah satunya Kota Sorong, tempat saya dibesarkan. Jadi, kamorang warga di luar "Papua" yang tidak pernah menjalani hidup atau kerabat yang merantau di Papua. Stop!! mo jelaskan tetang bagaimana cara kami hidup & berprilaku disini? Cukup jadi pendengar tak perlu menjadi pembicara seolah kalian lebih tau dengan cara hidup kami? karena bukan kalian yang mengalami, apalagi menghina kami seperti seekor binatang. Lantas, apakah kemudian kerabat yang mengais rezeki di tanah kami bukan bagian dari binatang.
STOP RASISME & SEPARATISME.!
Yang menarik, tanggapan tersebut datang dari sahabat kecilku sendiri, dimana kita pernah tumbuh bersama di Kota Sorong, maksud pernah yaitu sebelum akhirnya lulus SMA kemudian kita berpisah karena melanjutkan studi ke luar daerah. Sejak saat itu kita sudah tak pernah bertemu kembali. & kabar terakhir yang ku dengar ia telah berkeluarga & menetap disana mengikuti suaminya. Sementara aku kembali setelah menyelesaikan studi. Berikut isi tanggapan antara sahabatku (^) & Aku (*)
1. Tahun 2008 LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pernah membuat penelitian mengenai pelanggaran
HAM di Papua yang dilakukan oleh Negara, Aparat Keamanan & Kelompok Sipi
Bersenjata. Lebih jauh lagi operasi-operasi militer di Papua. Tahun 2019 data
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) terdapat 33 kasus pelanggaran
HAM yang di alami oleh Mahasiswa Papua di beberapa daerah.
*Salut dengan Aksi Solidaritas sahabat-sahabat Papua atas insiden persekusi di Surabaya-Malang hingga Chaos nya di wilayah sebagian Papua salah satunya Kota Sorong, tempat saya dibesarkan. Jadi, kamorang warga di luar "Papua" yang tidak pernah menjalani hidup atau kerabat yang merantau di Papua. Stop!! mo jelaskan tetang bagaimana cara kami hidup & berprilaku disini? Cukup jadi pendengar tak perlu menjadi pembicara seolah kalian lebih tau dengan cara hidup kami? karena bukan kalian yang mengalami, apalagi menghina kami seperti seekor binatang. Lantas, apakah kemudian kerabat yang mengais rezeki di tanah kami bukan bagian dari binatang.
STOP RASISME & SEPARATISME.!
Yang menarik, tanggapan tersebut datang dari sahabat kecilku sendiri, dimana kita pernah tumbuh bersama di Kota Sorong, maksud pernah yaitu sebelum akhirnya lulus SMA kemudian kita berpisah karena melanjutkan studi ke luar daerah. Sejak saat itu kita sudah tak pernah bertemu kembali. & kabar terakhir yang ku dengar ia telah berkeluarga & menetap disana mengikuti suaminya. Sementara aku kembali setelah menyelesaikan studi. Berikut isi tanggapan antara sahabatku (^) & Aku (*)
^Bukan begitu cara mikirnya.
*Terus
gimana cara mikirnya?
^Orang Jawa, orang Kalimantan. orang Papua. orang Sumatra
& Sulawesi. Bali, NTT, NTB, Lombok. Semua Indonesia, tidak ada yang lebih
baik, tidak ada yang lebih jahat, semua sama INDONESIA. Ini hanya ulah
Provokator, kalau Ko sudah mulai Emosi. Itu kesenangan Provokator. Karena
tujuannya itu. Jadi lebih baik, tulis yang positif-positif aja. Jangan jadi
bensin di tengah-tengah api. Nanti makin besar apinya.
*Iya Kaka, Ade percaya
akan kesamaan hak yaitu semua sama. Seperti konsep HAM pada umumnya, akan
tetapi itu dasar Teori namun Prakteknya "agak sulit" untuk
diaktualisasikan (masih banyak kasus pelanggaran HAM).[1] Kejadian
seperti ini terjadi karena insiden di Surabaya, Malang dlsb oleh Aksi
Separatisme (seperti kasus yang menimpa ade saat kuliah dulu, lain waktu
akan ade ceritakan).[2] Nah, seperti
yang Kaka bilang orang inilah & itulah. Yang jadi masalah, ketika orang ini
(suku lain) mencoba menyelesaikan masalah orang itu (suku yang lain pula). Maka
yang terjadi seperti ini. Seandainya insiden di Surabaya dlsb itu diselesaikan
dengan cara memanggil kepala suku masing-masing untuk bermusyawarah (seperti
kondisi Kota Sorong).[3] Pastilah tidak
akan terjadi seperti ini dan provokator tentu takkan bisa mengambil kesempatan
dari cara seperti itu. Positifnya, Ade dukung aksi warga Papua blockade sementara
atau berhentinya segala macam aktivitas masyarakat – terlepas chaos pastinya – agar pengaruhnya
seluruh warga Indonesia dari Sabang sampai Marauke melihat dan secara sadar,
tidak boleh ada yang menghina saudara kita dari Timur maupun Barat. Siapapun
dia (tidak rasis). Negatifnya ade sayangkan cara-cara separatisme (Ormas &
sebagian warga mengusir mahasiswa Papua) masih sering terjadi seperti insiden
di Surabaya, Tolikara dlsb apalagi sampai hancurnya Fasilitas Publik. Semoga tidak ada korban jiwa yang meninggal. Maaf Kaka, mungkin Ade su terlalu lancang.
2. Tahun
2011, sy pernah terlibat masalah dengan salah satu dosen karena beliau menghina
– sengaja/tidak sengaja – teman kelas sy dari Kaimana Papua dengan sebutan
“Yaki” (Kera Hitam asal Manado). Masalahnya sederhana, teman sy lupa/tdk
sengaja melewatkan beberapa halaman fotocopy materi kuliah yang disuruh beliau.
Sy pun kritisi beliau, dan ia merasa dipermalukan dihadapan mahasiswanya,
sebaliknya bagaimana dengan teman sy yang di hina? Akhirnya, karena tak ada ujung
penyelesaian antara kami. Sy pun memutuskan pindah fakultas, itulah sebabnya hampir
10 tahun menyelesaikan S1.
3. Di Papua
khususnya Kota Sorong rentan sekali terjadi konflik antar dua kelompok/etnis
dimana perkembangannya seringkali penyelesaian konflik melalui cara
hukum adat yaitu memanggil setiap kepala suku (tokoh masyarakat) yang terlibat
konflik tuk musyawarah mufakat, biasanya di mediasi oleh pemkot maupun aparat
keamanan.
Tambahan catatan kaki. Pertama, Tahun 2008 penelitian LIPI mengenai pelanggaran HAM di Papua sejak 1998 sampai dengan 2016 tercatat Lima pelanggaran berat HAM di Papua, diantaranya: Kasus Biak Numfor (Juli 1998); Wasior (2001); Wamena (2003); Paniai (2014); Mapenduma (Desember 2016) kata Adriana Elisabeth, peneliti LIPI pada diskusi “Mengurai Akar Masalah & Kondisi Terkini di Papua” (5/9/2019). Lebih jauh lagi operasi-operasi militer di Papua, sejak Trikora 1961 sampai Daerah Operasi Militer (DOM) 2001 dalam “Narasi Sejarah Sosial Papua” oleh Ngurah Suryawan (2003). Selanjutnya data YLBHI sejak 2018 sampai Agustus 2019 terjadi 33 kasus pelanggaran HAM yang di alami oleh Mahasiswa Papua di beberapa daerah diantaranya Surabaya ada 9; Papua ada 8; Bali ada 5; Jakarta ada 4; Semarang ada 4; Yogyakarta ada 3; tutur Arif Maulana (22/8/2019).
Kedua, melalui pengalaman pribadi ternyata masalah diskriminasi rasial cenderung terjadi di daerah Luar Papua. Terbalik di Papua khususnya Kota Sorong meski potensi konflik massa-nya cukup tinggi namun dapat diredam dengan “cepat” karena akar masalahnya bukan pada diskriminasi rasial melainkan konflik antar individu yang diasosiasikan sebagai kelompok.
Tambahan catatan kaki. Pertama, Tahun 2008 penelitian LIPI mengenai pelanggaran HAM di Papua sejak 1998 sampai dengan 2016 tercatat Lima pelanggaran berat HAM di Papua, diantaranya: Kasus Biak Numfor (Juli 1998); Wasior (2001); Wamena (2003); Paniai (2014); Mapenduma (Desember 2016) kata Adriana Elisabeth, peneliti LIPI pada diskusi “Mengurai Akar Masalah & Kondisi Terkini di Papua” (5/9/2019). Lebih jauh lagi operasi-operasi militer di Papua, sejak Trikora 1961 sampai Daerah Operasi Militer (DOM) 2001 dalam “Narasi Sejarah Sosial Papua” oleh Ngurah Suryawan (2003). Selanjutnya data YLBHI sejak 2018 sampai Agustus 2019 terjadi 33 kasus pelanggaran HAM yang di alami oleh Mahasiswa Papua di beberapa daerah diantaranya Surabaya ada 9; Papua ada 8; Bali ada 5; Jakarta ada 4; Semarang ada 4; Yogyakarta ada 3; tutur Arif Maulana (22/8/2019).
Kedua, melalui pengalaman pribadi ternyata masalah diskriminasi rasial cenderung terjadi di daerah Luar Papua. Terbalik di Papua khususnya Kota Sorong meski potensi konflik massa-nya cukup tinggi namun dapat diredam dengan “cepat” karena akar masalahnya bukan pada diskriminasi rasial melainkan konflik antar individu yang diasosiasikan sebagai kelompok.
Catatan kaki Ketiga, Menurut data BPS tentang Statistik Kriminal di Papua Barat (2016) khususnya Kejahatan kontinjensi (konflik massal) yang terjadi sepanjang tahun 2014 di wilayah sekitaran Sorong terdapat 16 kasus diantaranya Kota Sorong 5 kasus, Kab. Sorong 2 kasus, Kab. Sorong Selatan 9 kasus. Sementara inisiator aktif dalam penyelesaian konflik terbanyak datang dari tokoh masyarakat (kepala adat, suku maupun agama) berkisar 6 kasus sementara dari aparat keamanan 4 kasus dan Pemerintah 3 kasus, terlihat pada gambar dibawah ini :
Jumlah Kejadian Konflik Massal yang Terjadi Sepanjang Tahun 2014
Di Papua Barat
Jumlah
Inisiator Penyelesaian Konflik Massa Tahun 2014
Di
Papua Barat
Dalam Jurnal Penelitian Ezrah Ariandy Macpal tentang
Analisis Penanganan Konflik Etnis di Kota
Sorong (April 2017, Vol. 3 No.1) munculnya konflik biasanya diawali dengan
adanya bentrok antar individu yang bertransformasi menjadi kelompok/etnis.
Bentrokan yang terjadi dapat terlihat Juli 2007 antar masyarakat Makassar
dengan masyarakat Serui kemudian pada 28 Oktober 2012 antara suku Kei dengan
suku Serui. Bentrokan lainnya pada 21 April 2014 antar entnis asli Papua dan
etnis Pendatang. Pada 03 Februari 2016 antara masyarakat Kei dengan masyarakat
Maybrat. Semuanya berawal dari oknum-oknum yang terlibat dalam suatu pertikaian
yang menyebabkan seorang diantaranya jatuh korban. Dari oknum kemudian
diasosiasikan menjadi etnis sehingga memicu betrokan konflik dengan skala lebih
luas.
(^) Oh, jadi Ko setuju kalau pakai cara kekerasan? merusak Fasilitas Publik & membuat Keamanan terganggu? Aduh mohon maaf nih. Orang Papua penuh dengan kasih & sayang. Sa yakin tidak harus seperti ini. Orang-orang yang berpikiran kayak Ko ini bisa jadi Provokator. Orang asli Papua penuh dengan Kasih & Sayang. Sa yakin, Ko bukan Orang Papua, karena Ko tidak punya Kasih & Sayang hanya memetingkan emosi.
(*) Kaka ku tersayang, Kaka keliru ketika menganggap Ade mendukung bentuk aksi kekerasan, keamanan terganggu, maupun rusaknya Fasilitas Publik. Yang Ade dukung itu bentuk Solidaritas seluruh Warga Papua, Sorong sampe Jayapura. Setiap elemen masyarakat Papua bersatu, Mahasiswa, Organisasi, Pemuda/Remaja, Pekerja, Ibu rumah tangga, Kakek/Nenek turun ke jalan berdemonstrasi menyatakan pendapat dan sikap mereka terlepas reaksi amukan massa yang terjadi dilapangan seperti kericuhan & kekerasan. Terjadi chaos karena puncak reaksi kemarahan massa - banyaknya masyarakat yang terlibat sampai tak terbendung - sekaligus sebagai pertanda untuk kita seluruh warga Indonesia. Stop rasisme & separatisme. Agar tragedi ini tidak terulang kembali. pesan chaos kan itu.
Intinya, ade mendukung kegiatan berdemonstrasi (menyatakan pendapat) terlepas kericuhan demonstrasinya. Kedua, sebelum menyelesaikan suatu masalah, kita harus melihat terlebih dahulu akar masalahnya? Sehingga kita bisa memisahkan mana Sebab dan Akibat. Tragedi Papua yang terjadi hari ini akibat dari reaksi insiden di Surabaya, Malang, dlsb. karena beberapa oknum separatisme yang diskriminatif sebagai penyebabnya. Insiden itu terjadi mulai tanggal 14 hingga puncaknya (viral) 16/17 Agustus. Itulah yang ade kritisi cara penyelesaian masalahnya (baca : komentar sebelumnya).
Ringkasnya, jika insiden di Surabaya, Malang dlsb tidak terjadi/minimal penyelesaian masalahnya seperti yang ade kritisi, maka secara otomatis Tragedi Papua pun tidak akan terjadi seperti saat ini. Ketiga, kaka menduga ade Provokator? Hemat ade, Provokasi itu ada "kepentingan" di dalamnya sehingga mengaburkan akar masalahnya. Jadi ade bingung, kalimat mana yang ade provokasi tuk pengaburan masalah & ada kepentingan ade di dalamnya? sementara ade hanya pendatang (domisili papua) yang justru berpotensi menjadi korban dalam tragedi ini. Maaf, kaka. Kalau kritisi sumber masalahnya, iya. sebab sumber masalahnya diskriminasi rasial & separatisme. Keempat & teakhir, Kaka sa juga memahami orang asli Papua itu penuh Kasih & Sayang. seperti halnya Ade sayang Kaka toh, hehehe. Jangan serius2 kaka, ade tara sanggup serius dengan kaka baahh..
Fenomena konflik massa yang pernah terjadi dapat dipelajari bahwa pemicunya adalah faktor-faktor ESOPOL (Ekonomi, Sosial dan Politik) dengan paham-paham seperti primodialisme, etnosentrisme, separatisme yang sudah ada lebih dahulu ditanamkan di Kota Sorong (catatan sejarah pelanggaran HAM di Papua) akhirnya menuntun seseorang tuk mulai kategorisasi antara “kita” dan “mereka” seperti dijelaskan dalam Teori Identitas Sosial McLeod S (2008) bahwa "individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial tertentu dengan menganggap kelompoknya lebih baik dari kelompok lainnya".
(^) Oh, jadi Ko setuju kalau pakai cara kekerasan? merusak Fasilitas Publik & membuat Keamanan terganggu? Aduh mohon maaf nih. Orang Papua penuh dengan kasih & sayang. Sa yakin tidak harus seperti ini. Orang-orang yang berpikiran kayak Ko ini bisa jadi Provokator. Orang asli Papua penuh dengan Kasih & Sayang. Sa yakin, Ko bukan Orang Papua, karena Ko tidak punya Kasih & Sayang hanya memetingkan emosi.
(*) Kaka ku tersayang, Kaka keliru ketika menganggap Ade mendukung bentuk aksi kekerasan, keamanan terganggu, maupun rusaknya Fasilitas Publik. Yang Ade dukung itu bentuk Solidaritas seluruh Warga Papua, Sorong sampe Jayapura. Setiap elemen masyarakat Papua bersatu, Mahasiswa, Organisasi, Pemuda/Remaja, Pekerja, Ibu rumah tangga, Kakek/Nenek turun ke jalan berdemonstrasi menyatakan pendapat dan sikap mereka terlepas reaksi amukan massa yang terjadi dilapangan seperti kericuhan & kekerasan. Terjadi chaos karena puncak reaksi kemarahan massa - banyaknya masyarakat yang terlibat sampai tak terbendung - sekaligus sebagai pertanda untuk kita seluruh warga Indonesia. Stop rasisme & separatisme. Agar tragedi ini tidak terulang kembali. pesan chaos kan itu.
Intinya, ade mendukung kegiatan berdemonstrasi (menyatakan pendapat) terlepas kericuhan demonstrasinya. Kedua, sebelum menyelesaikan suatu masalah, kita harus melihat terlebih dahulu akar masalahnya? Sehingga kita bisa memisahkan mana Sebab dan Akibat. Tragedi Papua yang terjadi hari ini akibat dari reaksi insiden di Surabaya, Malang, dlsb. karena beberapa oknum separatisme yang diskriminatif sebagai penyebabnya. Insiden itu terjadi mulai tanggal 14 hingga puncaknya (viral) 16/17 Agustus. Itulah yang ade kritisi cara penyelesaian masalahnya (baca : komentar sebelumnya).
Ringkasnya, jika insiden di Surabaya, Malang dlsb tidak terjadi/minimal penyelesaian masalahnya seperti yang ade kritisi, maka secara otomatis Tragedi Papua pun tidak akan terjadi seperti saat ini. Ketiga, kaka menduga ade Provokator? Hemat ade, Provokasi itu ada "kepentingan" di dalamnya sehingga mengaburkan akar masalahnya. Jadi ade bingung, kalimat mana yang ade provokasi tuk pengaburan masalah & ada kepentingan ade di dalamnya? sementara ade hanya pendatang (domisili papua) yang justru berpotensi menjadi korban dalam tragedi ini. Maaf, kaka. Kalau kritisi sumber masalahnya, iya. sebab sumber masalahnya diskriminasi rasial & separatisme. Keempat & teakhir, Kaka sa juga memahami orang asli Papua itu penuh Kasih & Sayang. seperti halnya Ade sayang Kaka toh, hehehe. Jangan serius2 kaka, ade tara sanggup serius dengan kaka baahh..
Fenomena konflik massa yang pernah terjadi dapat dipelajari bahwa pemicunya adalah faktor-faktor ESOPOL (Ekonomi, Sosial dan Politik) dengan paham-paham seperti primodialisme, etnosentrisme, separatisme yang sudah ada lebih dahulu ditanamkan di Kota Sorong (catatan sejarah pelanggaran HAM di Papua) akhirnya menuntun seseorang tuk mulai kategorisasi antara “kita” dan “mereka” seperti dijelaskan dalam Teori Identitas Sosial McLeod S (2008) bahwa "individu mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial tertentu dengan menganggap kelompoknya lebih baik dari kelompok lainnya".
Melalui
rangkaian data dan dialog diatas, beberapa poin yang dapat di simpulkan.
Pertama, konflik massa di Papua dalam orientasi masyarakat daerah – pendatang telah turun-temurun – sudah sering terjadi & hal yang “lumrah” khususnya Kota Sorong. Barangkali kericuhan Agustus 2019 kemarin ialah yang paling parah sejak 5 tahun terakhir. Apalagi pemicunya hal yg sangat sensitiif menyangkut rasisme.
Kedua, lemahnya pencegahan konflik oleh pemerintah maupun
aparat keamanan serta minimnya pengetahuan masyarakat luar daerah Papua – khususnya
Indonesia bagian Barat – tentang kondisi krusial di Papua. Pengaruhnya ada dua
: pertama, arus berita media maupun sosmed yg terlanjur berkeliaran tanpa filterasi (hoax atau kredibel) sehingga
sulutan emosi berbagai opini publik memicu provokator
memanfaatkan situasi tersebut; kedua, tingkat
kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia sangatlah rendah karena
banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan (Baca : Sejarah Papua) yang membuat pemerintah Indonesia menjadi kesulitan menghadapi boomerang yg terjadi di Papua.
Ketiga, meski Kota Sorong sebagai salah satu pusat ekonomi
kawasan Timur Indonesia yg memiliki potensi konflik massa cukup tinggi namun
metode penyelesaiannya sangatlah “efektif” salah satunya ialah cara-cara Adat,
seperti musyawarah antar tokoh masyarakat (kepala suku/agama) sehingga mampu
merendam amukan massa menjadi lebih luas.
Keempat, mungkin kakakku lupa, bahwa kita berdua sama-sama
dibesarkan di Kota Sorong yg kita cintai dan pernah merasakan gejolak
konflik massa serupa tetapi tidak pernah menyangkut rasisme. Sehingga insiden
kemarin membuat Indonesia menjadi berduka khususnya terhadap OAP masih merasakan perlakuan
diskriminasi rasial. Dan melalui tragedi kemarin kita semua mendapat pelajaran sekaligus peringatan bahwa berhentilah separatisme & diskriminasi rasial agar tali
persatuan dan kesatuan tetap terjaga. semoga duka kemarin tak terulang kembali.
Comments
Post a Comment