MAS AGUS
Manusia Bagai Homo Religius
Historis Dekonstruksi Teologi
Lagi-lagi saya akan bicara tentang manusia. Mahluk multi-dimensi, dimana dirinya melekat berbagai macam teka-teki kehidupan yang sedang di-alaminya. Menariknya sudah berbagai disiplin ilmu untuk menelitinya. Sebagaimana alam semesta yang begitu luas ini, manusia juga tidak pernah luput dari objektifikasi. Di dalam dirinya terselubung berjuta rahasia yang menarik simpati pemikir untuk terlibat dalam wacana besar dalam “kemanusiaan”.
Historis Dekonstruksi Teologi
Lagi-lagi saya akan bicara tentang manusia. Mahluk multi-dimensi, dimana dirinya melekat berbagai macam teka-teki kehidupan yang sedang di-alaminya. Menariknya sudah berbagai disiplin ilmu untuk menelitinya. Sebagaimana alam semesta yang begitu luas ini, manusia juga tidak pernah luput dari objektifikasi. Di dalam dirinya terselubung berjuta rahasia yang menarik simpati pemikir untuk terlibat dalam wacana besar dalam “kemanusiaan”.
Kita
mungkin sering mendengar istilah seperti Hak Asasi Manusia, tapi tidak pernah
mendengar Hak Asasi Anjing misalnya. Kita juga pernah mendengar istilah
“Memanusiakan Manusia”. Kurang manusia apa coba? Sehingga perlu dimanusiakan
lagi?
Bicara
tentang judul ini, apakah yang disebut dengan Homo Religius? Homo
religius bukanlah seorang homo/gay yang suka shalat, puasa, zakat atau yang
ahli dalam beribadah lainnya.
Homo
religius adalah sebutan untuk manusia dalam kualitasnya
sebagai mahluk percaya, yang tidak mungkin hidup tanpa meyakini sesuatu sama
sekali. Bisakah kita meniadakan keyakinan? Bahkan ketika manusia menolak untuk
meyakini Agama, Ideologi, Mahzab, dsb, saat itu dia sedang membuat keyakinan
baru. Sehingga menolak untuk percaya sama sekali dapat kita sebut kontradiksi
in terminus (kontradiksi dalam kata).
Manusia
merupakan mahluk yang tidak bisa hidup dengan ketidakpastian sama sekali. Hal
tersebutlah yang kemudian menjadi motivasi bagi umat manusia untuk
mengembangkan pengetahuan, penelitian dan teknologi.
Upaya
manusia memahami alam semesta (makrokosmos dan mikrokosmos) dan menguasai hukum
alam adalah upaya demi menekan ketidaktahuan semaksimal mungkin. Hanya dengan
begitu umat manusia bisa mengetahui mana bahaya dan mana anugerah. Tapi sejauh
manapun kita mengadakan observasi, masih saja akan tertinggal misteri-misteri
yang belum terungkap.
Sebagaimana
yang tertulis pada nisan Immanuel Kant; “bahwa ada dua rahasia yang luas
terbentang yang menggelitik untuk diselidiki: bintang-bintang di atas kita, dan
hati nurani di balik dada kita”.
Dalam
buku “Dari Kosmologi ke Dialog”, Karlina Supeli memaparkan bahwa potensi
manusia untuk mengenali alam semesta hanya bisa tercapai sejauh 5% yang dapat
diamati melalui berbagai panjang-gelombang (contohnya adalah bintang, planet,
galaksi, gunung-gunung, lautan, bangunan, mahluk hidup termasuk saya dan anda).
Sedangkan 95% sisanya hanyalah dark matter, atau energi gelap yang masih
berupa hipotesa dan abstraksi-abstraksi.
Dengan
melihat realitas yang ada, bahwa “Pengetahuan-Terselubung” senantiasa meliputi
umat manusia. Kegelisahan pun lahir, dan bagi manusia yang pengetahuannya
sangat sedikit, satu-satunya cara mereka adalah dengan menekan kegelisahan
tersebut adalah dengan meyakini suatu agama, ideologi, aliran kepercayaan dsb.
Dengan
meyakini sesuatu, manusia memperoleh angin segar atas ketidak-tahuan mereka.
Mereka diberikan kepastian atas hal-hal yang belum pernah mereka alami. Konsep
kebaikan dan keburukan yang ditawarkan berbagai kepercayaan akhirnya menjadi
pegangan “entah” itu bagi sistem sosial yang ada atau bagi individu itu
sendiri?
Manusia
membuat sistem reward and punihsment demi menjaga keberlangsungan hidup
mereka sehingga terhindar dari kekacauan (chaos).
Fenomena
ini dijelaskan oleh seorang ahli Psikoanalisa, Sigmund Freud, bahwa gejala
seorang yang beragama identik dengan seorang anak kecil (childhood obsesion).
Bagi seorang anak kecil yang sedang merasa sedih, mereka kemudian mencari
patron atau sosok ayah sebagai sandaran agar mereka mendapat pegangan atau
merasa memiliki perlindungan. Hanya dengan begitu mereka (anak kecil) dapat
merasa aman dari belantara dunia. Begitupula bagi orang-orang yang merasa
khawatir, gelisah dan penuh kecemasan. Mereka senantiasa mencari sandaran atau
harapan demi menenangkan diri mereka sendiri.
Demi
menjawab pertanyaan tersebut, para pemikir dari berbagai belahan dunia menciptakan
teori-teori tersendiri agar dahaga ketidaktahuan manusia dapat tersegarkan.
Plato
membuat sebuah konsep tentang Arketype, Kant membuat konsep tentang Das
in Sihc, Hegel menawarkan konsep Roh Absolut, selain itu ada juga konsep
Logos, Metafisika, Teologi, dan Kalam dll. Sedangkan sosok yang kemudian
hadir sebagai pelipur lara manusia akhrinya disebut Tuhan yang ter-interpretasi
dan ter-kristalisasi kehendaknya dalam berbagai agama yang secara umum dapat
diklasifikasikan ke dalam agama bumi dan agama langit/samawi.
Banyaknya
kepercayaan yang melanda umat manusia kemudian melahirkan problematika baru.
Ketegangan kemudian lahir, apalagi di era-globalisasi seperti dewasa ini yang
mengisyaratkan kaburnya batas-batas teritorial serta menyingkatnya waktu dan
menyempitnya ruang,
Konsekuensi
logis adalah gesekan antar bangsa, budaya, serta aliran kepercayaan terjadi
secara intens. Tidak terhitung jumlahnya, berapa banyak konflik antar
kepercayaan terjadi dan telah melatarbelakangi konflik hingga akhirnya adalah
perang.
Tiap
kepercayaan menawarkan klaim kebenaran (truth claim) dan klaim
keselamatan (salvation claim) masing-masing. Dunia pernah digemparkan
hanya karena dua ideologi besar (Komunisme dan Liberalisme) yang bertarung
memperebutkan legitimasi masyarakat global yang akhirnya memecahkan PD I dan II.
Bahkan agresi militer yang belakangan ini terjadi di wilayah Timur hari ini
disinyalir pekat dengan aroma konflik antar mahzab (perang proxy Arab-Iran).
Kita juga melihat dengan seksama bagaimana perilaku kolonialisme yang berhasil
dipraktekekkan dengan sempurna oleh Israel ternyata dimotivasi oleh semangat Zionisme.
Sapaan
Akrab - Cak Nur (Nurcholis Madjid) memaparkan bahwa kepercayaan yang salah
hanya akan membawa umat manusia ke tata nilai yang salah, dan tata nilai yang
salah kemudian akan melahirkan tradisi yang salah. Tradisi yang salah akan
membuat pola pikir serta doktrin yang salah juga. Bagaikan efek domino, kesalahan yang terjadi pada tataran atas hanya akan melahirkan kesalahan semua
tataran dibawahnya.
Dengan
demikian, persoalan terbesar umat manusia menurut Cak Nur adalah bukan tentang
apakah seseorang itu beragama atau tidak (atheisme), tapi adalah tentang
banyaknya kepercayaan yang menimpa dan menjerat kehidupan manusia
(politheisme).
Konsekuensi
logis ketika ini terjadi adalah kepribadian terbelah (split personality)
secara psikologis. Kepribadian seseorang akan terbelah dan tereduksi dalam dua
orientasi yang berbeda secara fundamental. Agama yang secara harfiah berarti
tidak kacau, ketika dilakoni lebih dari satu malah hanya akan menimbulkan kekacauan.
Analogi yang tepat atas konsep ini adalah sebuah bandul. Sebuah bandul yang
memiliki satu titik gantung akan teratur ketika diayun. Sedang bandul yang
memiliki lebih dari satu titik gantung akan mengayun secara acak.
Dengan
tesis Cak Nur diatas, dapat kita tarik simpulan bahwa atheisme bukanlah
problematika mendasar ketika berbicara perihal wacana keberagamaan atau
berkeyakinan. Atheisme merupakan suatu kemustahilan.
Tuhan
sejatinya adalah objek dari segala keinginan manusia, harapan manusia, yang
dicitrakan sebagai yang tertinggi dan teragung dan mampu menyingkirkan segala
kegelisahan manusia.
Ketika
ada yang memproklamirkan diri selaku atheist dan menolak Tuhan formal yang
diakui agama-agama dengan argumentasi Sains, maka Sains telah menjadi Tuhan
baru yang membuat kegelisahan dan kekhawatiran mereka musnah. Bahkan seorang
Nietzche yang disinyalir atheist lewat aforisme-aforisme yang beliau tinggalkan
(gott is tot(god is dead/tuhan telah mati), diam-diam memuja Diogynes
atau dewa topeng dalam liturugi Yunani.
Dalam
persoalan atheisme ini kita mengenal ada yang disebut sebagai atheisme
terselubung yakni orang yang diam-diam (terkadang tanpa disadari) telah
mengakui sosok Tuhan tapi dalam laku kesehariannya terlihat tidak mengakui
eksistensi Tuhan.
Cak
Nur pernah berpendapat tentang beberapa Komunisme yang tidak berTuhan (walaupun
banyak pengikut Komunisme yang ber-Tuhan seperti Tan Malaka dan Haji Misbach
serta komunisme di Amerika Latin berhasil membuat konsep tentang Teologi
Pembebasan) bahwa ketika seorang penganut Komunisme mengaku diri atheist saat
itu dia telah menuhankan ideologinya.
Komunis
telah menjelma jadi pseudo-religion, dan Marx, Lenin serta Mao Tse-Tsung
menjelma jadi pseudo-prophet di mata mereka.
Bagi
atheistme yang mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan dengan membandingkan korban
dari perang Salib/Sabil, terorisme, perang sectarian di Timur Tengah, hingga
mereka menarik asumsi bahwa agama harus ditinggalkan karena tidak humanis.
Bagi
mereka yang menolak kategori-kategori moral yang ditawarkan agama dan
meluhurkan konsep HAM, mereka kemudian menjadikan ideologi Humanisme sebagai
Tuhan bagi diri sendiri.
Kepercayaan
sebagai sebuah kebutuhan mendasar pernah dibicarakan Nietzche pada masa lampau.
Nietzche membicarakan konsep ini dalam konteks hubungan dengan kualitas
kehendak seseorang.
Konsep
tentang kehendak dan kebutuhan untuk percaya ini pula yang mendasari pemikiran
beliau tentang kematian tuhan dan manusia super (ubermansch). Nietzche
mengatakan bahwa kepercayaan yang berkembang akan mengungkapkan kekuatan dan
kelemahan sang subjek. Semakin kebutuhan kepercayaan tinggi, semakin subjek
memasuki fenomena fanatisme (entah itu terhadap ideologi, agama, Sains, bahkan
UFO). Dan orang yang fanatik menurut Nietzche adalah orang-orang bodoh, yakni
orang yang tidak banyak mengetahui.
Kebutuhan
untuk percaya memiliki relevansi dengan kualitas kehendak seseorang dalam
perspektif Nietzchean. Semakin lemah kualitas kehendak seseorang semakin
kebutuhan percaya seseorang menjadi tinggi.
Nietzche
menasehati para filsuf, bahwa sebuah sistem kepercayaan selalu punya doktrin
dalam artian punya Mahkamah tersediri yang menjustifikasi mana yang mesti dan
tidak mesti.
Sebuah
kepercayaan merupakan kebutuhan bagi orang yang kehendaknya cacat hanya
mensyaratkan manusia lemah yang tidak berdaya berhadapan dengan realitas yang
kaotik sehingga terjerumus dalam kondisi fatalistik.
Nietzche
mengutarakan, semakin orang kehendaknya lemah, semakin dia harus bertemu orang
yang berkata “kamu harus!”. Orang-orang ini adalah mangsa fanatisme yang hanya
melihat segala sesuatu dari satu perspektif (kacamata kuda).
Nietzche
mengkritik zamannya sebagai zaman yang pesimistik atau mengalami dekadensi
karena dipenuhi oleh orang yang cacat kehendak. Dengan tesis ini, Nietzche
kemudian melahirkan dikotomi kelas yang diklasifikasikan dalam kelas tuan dan
budak. Kelas budak adalah orang-orang dengan kualitas kendak yang cacat
sehingga terjerumus dalam sifat fanatisme. Sedangkan kelas tuan adalah orang-orang dengan kehendak diri
yang kuat. Moralitas tuan mensyaratkan bahwa seseorang memiliki kehendak kuat
dan manusia tersebut tidak butuh sesuatu selain diluar dirinya.
Dia
menolak sistem kepercayaan yang mengatakan bahwa “kamu harus!” terhadap segala
sesuatu yang mesti dan tidak mesti dilakukan. Hanya dengan begitu manusia menjadi
mahluk yang berdaulat dan saat itu dia kemudian menjadi Ubermasch.
Sedangkan
Erich Fromm memiliki pendapat yang berbeda mengenai kebutuhan untuk percaya
ini. Dalam buku manusia menjadi Tuhan, beliau mengutarakan pendapat-pendapatnya
dalam analisis terhadap sejarah Yahudi.
Dan
Dalam salah satu fase evolusi Perjanjian Lama, beliau banyak mengutip pendapat
Mainmonides, seorang rabbi dengan gaya berpikir negatif. Beliau mengatakan
bahwa segala sesuatu yang memiliki nama, pastilah bukan Tuhan melainkan
berhala.
Hal
tersebut di-interpretasikan lewat sebuah ayat yang berbunyi “...Aku telah
mengutus-Ku padamu (Eheyeh asher Eheyeh)” (Kel 3:14). Dalam terjemahan
bebas dapat bermakna “... yang tanpa nama telah mengutusmu”.
Dengan
demikian pengakuan terhadap eksistensi Tuhan adalah dengan mengakui bahwa tidak
ada nama yang mampu mewakili realitas Tuhan itu sendiri. Sehingga Tuhan dalam
agama Yahudi disebut dengan YHWH, sebuah akronim dari Yahweh.
Logika
yang diterapkan oleh Erich Fromm adalah logika teologi negatif yakni dengan
menegaskan hal-hal positif yang selama ini dilekatkan pada citra Tuhan (imago
Dei). Dalam tradisi agama lain kita mengenal Ibnu Arabi dan St. Agustinus
yang berpola pikir sama.
Dalam
penjabaran tentang konsep berhala ini, Erich Fromm mengutarakan bahwa
bergulirnya sejarah umat manusia membuat konsep berhala memodifikasi dirinya
sendiri.
Kalau
dulu kita mengenal patung-patung sebagai berhala tradisional, maka hari ini
kita mengenal ideologi, popularitas, kekayaan, kekuasaan dan lain sebagainya
sebagai berhala modern. Berhala sendiri didefinisikan Fromm sebagai objek dan
pusat dari tujuan manusia. Apa bedanya kepercayaan Aztec zaman dahulu yang
mengorbankan ribuan nyawa sebagai persembahan pada dewa (elan vital)
dengan Nasionalisme yang mengorbankan ribuan nyawa demi kemerdekaan?
Analisis
Erich Fromm kemudian mengerucut, mencoba untuk menjustifikasi kepercayaan yang
bagaimanakah yang benar. Erich Fromm mengatakan bahwa pada dasarnya hanya ada
dua jenis etika dalam konteks ini yakni etika otoriterian dan etika
kemanusiaan.
Etika
kemanusiaan adalah suara hati (intuisi) yang bicara tentang baik-buruk sebagai
konsekuensi fitrawi. Sedangkan etika otoritarian adalah segala aturan dari
pihak otoriter (raja, kepala suku, presiden, dll) yang diangap sebagai suara hati.
Etika otoriterian ini kemudian mendorong manusia untuk cenderung pada
penyembahan berhala (tradisional maupun modern). Dan dengan demikian,
manusia telah meyakini kepercayaan yang salah pada saat itu juga.
Dalam
Islam sendiri, Tuhan mengakui bahwa ada satu tuhan yang diam-diam disembah oleh
manusia sebagi pusat dari objek keinginan manusia. “Maka pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya....” (Al-Jasiyah 45 :23)
dan “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya..” (Al-Furqan 25:43). Dengan demikian estalase Tuhan mengakui
bahwa di dalam eksistensi tiap manusia melekat tuhan-tuhan (dengan “t” kecil)
palsu.
Tuhan
dalam kalimat-kalimat lanjutan atas ayat tersebut kemudian menerangkan bahwa
mereka yang mengikuti tuhan palsu tersebut adalah orang-orang yang melenceng
dari agama yang telah Dia wahyukan. Dalam artian Tuhan hendak menyatakan bahwa
tuhan palsu tersebut merupakan regresi dari Tuhan yang sesungguhnya atau dalam
terminologi Fromm; berhala/tuhan sejarah.
Dengan
menggunakan analisis ini, maka kita akan kembali pada tesis Nietzche tentang
manusia berdaulat/Ubermansch. Kembali pada ucapan Nietzche, bahwa manusia yang
cacat kehendak akan melahirkan kebutuhan percaya yang tinggi dan tergelincir ke
dalam fanatisme buta (taqlid).
Orang
akan semakin butuh kepada kekuatan diluar dirinya akan menawarkan kepastian
dengan satu mantera sederhana: “Kamu harus!” berkenaan dengan sesuatu yang
mesti dan tidak mesti dilakukan. Sehingga orang harus terbebas dari kekuatan di
luar dirinya, saat itulah dia menjelma menjadi Ubermansch.
Maka
marilah kita pertanyakan tesis tersebut. Ketika Nietzche berteori tentang
kehadiran Ubermansch, bukankah pendambaan atas kehadiran manusia super tersebut
tidak lebih dari hasrat metafisis dari orang-orang dengan kebutuhan untuk
percaya yang tinggi? Bukankah ketika Nietzche mengatakan bahwa kita harus
terlepas dari kekuatan diluar diri kita saat itu Nietzche tengah berkata “Kamu
harus!”. Maka tesis yang diutarakan oleh Nietzche, adalah kontradiksi in
terminus! Beliau mengatakaan hal yang dia bantah sendiri. Dan dengan
mendambakan kehadiran Ubermansch, maka Nietzche sedang membuat berhala
psikologis baru atau tuhan melalui fantasi yang lain.
Lantas
dengan berbagai kebingungan ini, bagaimana kemudian kita dapat memverifikasi
mana kepercayana yang benar dan mana yang salah? Dengan mengetahui bahwa
ternyata para pemegang otoritas (raja, kepala suku, presiden dll) ternyata
hanya mengantarkan kita ke gerbang paganisme modern, lantas otoritas apa yang
perlu kita percaya?
Mengingat
kembali apa yang diutarakan oleh Cak Nur, bahwa permasalahan terberat manusia
ternyata memang bukanlah seseorang atheist atau theist, akan tetapi
problematika mendasar adalah melepas diri dari jerat-jerat kepercayaan yang terlampau
banyak (politheisme).
Semangat
yang ditawarkan oleh Cak Nur dengan demikian adalah semangat purifikasi. Sangat
menakjubkan, bagaimana seorang Cak Nur yang terinspirasi dari pola berpikir
Ibnu Tayimiyah tapi malah tidak terseret ke cara berpikir Wahabisme.
Dengan
begitu banyaknya sistem kepercayaan yang berputar dan mengiringi kehidupan umat
manusia, hanya ada dua kemungkinan: apakah semua kepercayaan itu salah atau
hanya satu yang benar. Tentu saja kebenaran itu hanya satu (bukan angka) dan
itu bersifat mutlak. Bahkan ketika seseorang ngotot untuk mengatakan bahwa
kebenaran itu relatif, saat itu dia telah memutlakan kebenaran tersebut dan itu
artinya dia terjebak dalam kesesatan berpikir (fallacy of logic).
Kemudian
bagaimana cara kita memverfikasi mana yang benar dan salah? Apa lagi kalau
bukan akal (Nalar Berpikir).
Yah,
tentu kepada akallah kemudian kita harus memberikan otoritas untuk menilai sesuatu
itu salah dan benar. Realitas ini merupakan sesuatu hal yang urgent mengingat
umat manusia hari ini tengah terpenjara dalam hegemoni dan supremasi teks.
Kelompok
yang hari ini tengah mengeksploitasi agama, kita kenal dengan nama kaum
skriptualis dengan aksioma mereka “semakin harfiah kau menafsirkan wahyu,
semakin kau mendekati makna wahyu tersebut”. Padahal wahyu tidak hnaya berada
dalam dimensi tekstual, tetapi juga kontekstual (sosio-politik-historis).
Dalam
teori interpretasi, kita mengetahui bahwa ada tiga dimensi yang perlu dilacak
demi menyerap makna yakni dimensi pengujar-teks-pembaca. Karena dunia pengujar
yang tidak lain dan tidak bukan adalah dunia Tuhan (lauh mahfuz), maka
kita hanya bisa mengecek dengan memahami kondisi historis atau latar belakang
turunnya wahyu tersebut (asbab al-nuzul).
Wahyu
tidak bisa dipahami tanpa melepas konteks kenapa ayat tersebut diturunkan.
Karena tidak jarang Al-Quran menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi motif
kehadirannya. Misalnya, permulaan surat al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat
Islam perihal pembagian harta rampasan perang. Juga respon Al-Quran yang khusus
menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan istrinya.
Dalam
sebuah pengajian,diceritakan bahwa seorang beragama Majuzi datang dan mendebat
seorang ulama. Ketika sang Majuzi bertanya “bagaimana kau mengetahui bahwa
Tuhan eksis?”. “Bukti eksistensi Tuhan adalah karena kitab suci kami mengatakan
begitu, sehingga kami percaya”, jawab si pemuka agama. Pertanyaan kembali
berlanjut, “bagaimana kau tau bahwa kitab sucimu benar?”, sang pemuka agama
menjawab “karena dalam kitab suci kami, kami belajar bahwa Tuhanlah yang
menurunkan kitab suci ini. Sehingga seisi kitab suci ini benar adanya”. Sang
Majuzi berpendapat dengan sangat tajam dan menusuk argumen tetistik tersebut:
“Bagaimana kau membuktikan segala kebenaran tadi hanya berdasarkan kitab
sucimu? Sedangkan membuktikan Tuhan anda saja belum bisa. Kalau akhirnya kamu
memperoleh justifikasi atas eksistensi Tuhan itu dari kitab sucimu semata, maka
kau lebih mempercayai kitab suci dibanding Tuhan itu sendiri. Bagaimana kita
bisa mempercayai firman-Nya jikalau sang yang memfirmankan belum bisa kita
buktikan ada?”.
Ketika
ternyata firman Tuhan lebih dipercayai dibandingkan Tuhan itu sendiri, maka
harusnya Rukun Iman pertama itu bukanlah kepada Tuhan akan tetapi kepada kitab
suci. Gejala inilah kemudian disebut gejala Biblioatri. Ketika kelompok
agamawan yang beraliran skriptualis lebih mengutamakan teks dibandingkan
konteks, maka saat itu dia telah terjerumus dalam fenomena penyembahan berhala,
teks kitab suci sebagai berhala psikologis.
Padahal
jikalau kita melihat perdebatan antara dua orang ahli kitab. Ketika mereka
berargumentasi dengan mengutip kitab suci agama A, tentu saja yang beragama B
akan menolak dengan dalil bahwa dia tidak mengimani kitab suci agama A. Dengan
demikian harus ada satu otoritas yang dapat menjadi jawaban bagi semua orang
yang beragama dan otoritas tersebut adalah akal. Dengan menempatkan akal
sebagai otoritas utama, maka kita bisa verifikasi mana yang benar dan mana yang
salah. Akal selalu memberikan jawaban yang bersifat universal dan bisa
diterima. Karena dari zaman dulu sampai sekarang, kita mengakui bersama bahwa
“sebagaian lebih kecil daripada keseluruhan” bahwa “segitiga memiliki tiga sisi”, bahwa
“satu tambah satu sama dengan dua”, dll.
Akal
merupakan nabi batin manusia, sebagaimana tugas nabi yang menyampaikan risalah
sehingga manusia bisa tau mana yang benar dan mana yang salah. Kemudian, apakah
itu artinya kita menempatkan akal sebagai objek atas keinginan manusia untuk
mengenal Tuhan? Bukankah saat itu kita telah memberhalakan akal? Lalu kalau
rukun iman pertama bukanlah pada kitab suci, apakah patut diserahkan kepada
akal? Tentu saja tidak, karena akal disini berfungsi sebagai alat atau jalan (tarikh/halakhah).
Menyerahkan otoritas untuk menjustifikasi mana benar-salah kepada akal, tidak
serta merta menyerahkan posisi Tuhan pada akal. Hanya ketika akal mengantarkan
manusia untuk mem-verifikasi mana kepercayaan yang benar dan salah, saat itu kita
bisa menemukan Tuhan Sejati.
Dan
jika akal merupakan sumber otoritas primer, kemudian ketika akal telah memberi
jawaban baru kita dapat menyerahkan wahyu sebagai otoritas sekunder. Sebab akal
hanya mampu membawa manusia pada kepercayaan bahwa Tuhan itu eksis, sedang
ciri-ciri serta bats-batas metafisis mengenai Tuhan dalam artian Dzati
diperoleh lewat informasi kitab suci.
Lalu
bagaimana dengan fenomena orang-orang yang meyakini suatu agama lewat
pengalaman spiritual pribadinya. Fenomena yang disebut juga sebagai loncatan
iman. Beberapa orang mengaku saat dia mendengar suara Adzan, hati dia tergugah
dan seketika masuk Islam. Beberapa juga mengaku ketika dia mengalami
disorientasi dalam hidup dan dia berdoa di dalam gereja, seketika dia masuk
Kristen.
Kelompok
yang meyakini bahwa pengalaman spiritual personal seseorang dapat mengantarkan
seseorang ke kepercyaan yang benar, disebut sebagai kelompok fideisme. Hal ini
pernah dijelaskan oleh seorang filsuf bernama Kierargard. Beliau mengatakan
bahwa iman dan akal tidak harus bertemu dalam agama. Lantas proposisi atau
kesimpulan yang ditularkan oleh Kierargard diatas, bukankah itu disimpulkan
lewat sebuah deduksi sebagai metode akal dalam menemukan simpulannya? Lantas
jikalau seseorang dapat menjustifikasi kepercayaan yang dia anut sebagai
kepercayaan yang benar karena pengalaman empiris pribadi, kenapa seorang ateis
tidak bisa menjustifikasi keyakinannya yang benar karena dia memperoleh itu
dari pengalaman pribadi? Pada akhirnya, yaa lagi-lagi mari kita berikan
otoritas itu kepada akal.
Berikut Link aslinya : http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2015/05/manusia-sebagai-homo-religius-sebuah.html
Berikut Link aslinya : http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2015/05/manusia-sebagai-homo-religius-sebuah.html
Wih mantap :) Tapi tolong dicantumin referensinya ya. Saya penulis asli. Terimakasih. Torang samua basudara.
ReplyDeletemakasih bang, sudah sa cantumkan linknya..
Deletesalam kenal.