SEKA RABUN RIA


Sepak Bola
Antara Problematika & Euforia

Kira-kira untuk satu bulan belakangan ini umat manusia akan disibukan dengan fenomena global yang biasanya kita jumpai pada periode empat tahun sekali. Bukan hanya di Indonesia, tapi negara-negara lain terutama Perancis yang pada kesempatan ini merupakan tuan rumah dari pesta yang ingin saya bicarakan.

Bahkan dengan kalimat-kalimat pembukaan yang bersifat metaforis (hubungan persamaan) yang begitu rumitpun tidak dapat menyembunyikan maksud yang ingin saya sampaikan pada pembaca.

Bahwa yang saya maksud pada tulisan ini adalah pesta sepakbola, Euro 2016 – Le Rendeg Vous – yang tengah diselenggarakan di Perancis sejak dua minggu terakhir. Akan susah menyangkal lagi bahwa memang sepak bola merupakan bahasa universal.

kita semua akan disibukkan dengan euforia olahraga pertandingan sepak bola antar negara-negara Eropa sepanjang sejarah umat manusia.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk permasalahan global seperti problematika sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan moral, suasana global seakan-akan cair dengan hadirnya fenomena pesta besar empat tahun sekali ini.

Permasalahan yang kemudian seringkali luput dari amatan kita adalah bagaimana kemudian kita melihat posisi dunia sepak bola antar negara-negara Eropa ini di tengah konstalasi problematika globalisasi yang begitu akut ini?

Apakah objek yang sedang kita bahas sekarang berada di dalam problematika global ataukah dia berada diluar?

Fenomena-fenomena yang terlihat telah membuat fenomena lain seakan-akan tertutup. Euforia sepak bola membuat kita lupa untuk mengintip realitas yang terjadi di belakang panggung penyelenggaraan Euro-2016. Euforia seperti morphin yang membuat manusia senang dan seketika melupakan penderitaan.

Harus kita ketahui bersama bahwa penyelenggaraan UEFA Euro-2016 di Perancis merupakan penyelenggaraan sepak bola Eropa dengan anggaran dua kali lipat dari Euro-2012 sebelumnya di Polandia & Ukraina dengan anggaran 12 Juta Euro (Rp. 192 Miliar)

Negarapun memfokuskan anggaran yang begitu besar untuk suksesnya acara tersebut demi citra tuan rumah yang baik. Tindakan tersebut melahirkan suatu paradoks (bertentangan). Pesta sepak bola Euro-2016 kemudian berada diantara euforia dan problematika. seperti halnya juga Piala Dunia 2014 lalu dibrazil.

Ketika umat manusia dengan nyaman tenggelam dalam euforia yang ditawarkan dari penyelenggaraan Euro tahun ini, di sisi lain ada problematika sosial yang terpinggirkan dari amatan kita. Saat menjelang pembukaan Euro-2016 ada aksi demonstrasi buruh yang tergabung dalam Confederation Generale du Travale (CGT) menuntut pemerintah membatalkan peraturan baru terkait kesejahteraan mereka. Barangkali realitas inilah yang menjadi acuan problematika sosial dimana segelintir komunitas sosial untuk menginisiasi aksi-aksi sosial dalam rangka mengkritisi pemeritahan Perancis

Harus diketahui bersama, bahwa sejak 56 tahun yang lalu, pesta ini pertama kali digelar di Perancis, dan pada tahun ini terulang kembali.

Dan angka penyelenggaraan anggaran dengan total kurang lebih 24 juta Euro (Rp. 359 Miliar). Pemerintah yang terlalu memfokuskan anggaran pada pesta sepak bola tersebut dibandingkan kepada masyarakat sipil (tingkat menengah ke bawah) setempat dengan kondisi ekonomi rendah. 

EUFA Euro-2016 menyimpan paradoks di dalam dirinya. Antara euforia dan problematika, seperti itulah saya mengasosiasikan fenomena ini.

Bahwa di tengah-tengah euforia umat manusia setelah 4 tahun haus menunggu kehadiran pesta ini, mereka kemudian bersedia hanyut menutup mata, telinga bahkan hati untuk sekedar melihat realitas sosial dengan segala problematikanya yang belum sempat diatasi oleh bengkaknya angka pengeluaran untuk penyelenggaraan pesta ini.

Saya jadi teringat perkataan salah seorang sahabat "Melihat Euforia Global, Lihatlah dua moment yaitu saat Tahun Baru dan Acara Sepak Bola" 

Sekarang kita bisa lihat bahwa agama bukan lagi candu bagi masyarakat. Saya seringkali berangan-angan, jika Marx bangkit dari kuburnya dan melihat realitas global hari ini barangkali dia akan berteriak dan mengganti pernyataannya ratusan tahun lalu. “Football is opium of the people”. Barangkali itulah yang akan dia ucapkan melihat 24 timnas anggota Euro-2016 seakan-akan sebagai pseudo-religion.

Pada tulisan ini, bukan berarti saya menolak terselenggaranya acara sepakbola ini, hanya saja saya mengkritisi realitas masyarakat yang tidak melihat fenomena lain secara holistis.

Silahkan kita menenggelamkan diri dalam meriahnya sepak bola Eropa ini, hanya saja jangan sampai kesadaran kita ikut tenggelam.

Kesadaran bahwa ada kewajiban bersama seluruh umat manusia yang seringkali luput dari pengamatan kita. Kewajiban sosial, yang apabila kita acuhkan begitu saja nantinya jangan kaget bahwa problematika moral akan lahir kemudian.

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA