PARAS KARI


Para Kaum Sok Syar'i

Suatu hari saya bertemu dengan sahabat lama, dahulu dia sangat cuek dengan agama, sekarang nampaknya sangat berbeda keliatan lebih agamis. 

Setelah basa-basi dia pun mulai ceramah agama dengan semangat. Dia menjelaskan ummat islam di Indonesia itu belum islam secara benar, banyak yang keluar dari tatanan Syar’i..

Teman: dalam beragama semuanya harus syar’i. lihat celanamu itu tidak syar’i, yang syar’i itu harus cingkrang, jangan sampai menutup kedua tumit.

Saya: oh, ya..? sambil manggut-manggut. 

Teman: wajah kita juga tidak syar’i, kumis tidak boleh dipanjangkan, sedangkan jenggot harus dipanjangkan, inilah jenggot syar’i

Saya: oh, ya..? sambil manggut-manggut (pingin narik jenggotnya itu) 

Teman: makanpun harus syar’i, bekerja harus juga harus syar’i, kalau nabung di bank carilah yang syar’i, jika ikut asuransi carilah yang syar’i, dan juga....bla,  bla,

Karena nggak sabar saya pun memotong  perkataannya dan menjawab..

Mas, kamu memang hebat semuanya harus syar’i, mulai berpakaian dan jenggot , songkok, bahkan cara hidupmu juga. Namun ada satu yang kurang dari kamu syar’inya..? 

Teman: loh yang mana, saya ini ahli syar’i gak mungkin meninggalkannya.

Saya: MULUTMU yang belum syar’i. dari tadi kok menyalahkan orang lain dan anda merasa paling benar di sisi Allah swt. Itu pertanda agamamu hanya sebatas simbol terlihat tidak bisa membedakan antara budaya dan syareat. Sekarang tutup dulu mulutmu, atau ku plester!

Sekarang ini banyak orang yang salah kaprah dalam mempraktekan agama, kelompok Wahaby Salafy merasa paling benar dalam menjalankan Islam, yang lainnya tidak benar. Mereka adalah kelompok anti bid’ah, sedangkan dulu zaman Nabi tidak ada namanya jenggot syar’i, celana syar’i, songkok syar’i. tapi sekarang mereka kampanye membuat bid’ah dan syar’i.

Tambah parah lagi ketika om MUI mengeluarkan sartifikasi Jilbab Halal, memangnya ada jilbab yang haram? 

Dari dulu om MUI ini kerjanya suka membuat ummatnya binggung. Ulama itu pewaris para Nabi, jadi sikap dan prilakunnya harus mengikuti Nabi. Bisa mendidik dan megerbong ummat, tapi malah om MUI ini beda kerjanya hanya membuat Fatwa Syiah sesat, Shinta sesat, Sincee sesat..

Akhirnya akar rumput menjadi terbakar serang sana, bakar sini, ini bukannya meredam dan mendidik dengan benar, malah menjadi “provokator” membuat masalah baru. 

Lihat kasus Gafatar, kalau memang ulama sebagai pembimbing ummat mereka akan mendatangi pemukiman gafatar dan membina, membimbing, serta mengarahkan mereka dengan benar. Karena Fatwa MUI lokal dan pusat, akhirnya pemukiman gafatar dibakar, harta bendanya dirusak, sawah yang mereka panen dijarah semua, bukankah perbuatan merusak itu adalah sifat syaitan yang sesat, lalu sesat itu yang mana..?

Dulu Baginda Nabi saw sering keliling menjenguk ummatnya, jika ada yang sakit dijenguk, mereka yang miskin didatangi diberi makanan. Kalau om MUI beda sekali, justru mereka sering mendatangi perusahaan menegah ke atas, berunding sertifikasi produk halal, sambil berkata, “Wani Piro..?” 

Orang-orang miskin yang sakit tidak diurus dan dipikirkan solusinya, malahan Om MUI mengeluarkan fatwa BPJS haram. Padahal dalam Islam sendiri jika kondisi terpaksa dan darurat mengancam kelangsungan hidup, maka yang haram menjadi halal. Orang miskin itu adalah kondisinya serba dan selalu darurat maka halal bagi mereka BPJS.

Dan kembali ke masalah syar’i, bahwa Islam jika di ibaratkan sebuah kelapa, Syareat itu adalah bagian kulitnya, batok kelapa adalah Tharekatnya, isi kelapa adalah substansi berkaitan dengan Hakekat, jika kelapa itu sudah diperas menjadi santan itulah Makrifat. Empat pilar itu adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Jadi setiap syareat mengandung tharekat, hakekat, dan makrifat.

Repotnya jika beragama sebatas kulit, kualitasnya seperti ampas kelapa, jika dimakan rasanya pekat, maka jangan heran kelompok yang suka sok syar’i itu wajahnya pekat-pekat. Mereka merasa Islamnya paling benar, orang lain ahli bid’ah dan belum syar’i dalam beragama. Ketika pemahaman agama masih sebatas teks ayat dan hadist sebatas kulit, maka aneh jika mereka mengklalim paling benar sendiri. 

Saya sering bertanya sendiri, mengapa dahulu baginda Muhammad saw tidak diturunkan ditanah nusantara ini, kadang saya juga berandai-andai dan membayangkan andai kata Nabi diturunkan di tanah ini, maka songkok syar’i adalah blangkon, kenduri syar’i adalah keris syar’i, kembang syar’i dan nasi tumpeng adalah makanan syar’i. tapi saya cepat sadar diri dan bergumam dalam hati, khayalan saya ini apakah sudah syar’i…?!

"Temanku pun pergi berlalu tanpa ada suara. Mungkin dia mulai kesal atau mungkin juga mulai memikirkan kembali ocehanku yang tak dia gubris"

Ngomong mulut syar’i saya malah teringat Tukul Arwana, kumisnya ala lele nusantara, mulutnya sangat seksi, suka menghina sekedar guyonan, dan menjelaskan hal yang  penuh arti, dalam menghibur dan menyenangkan orang lain.

itulah contoh mulut yang syar’i.. Puas.??? Puas.??? Puas???

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA