JABLAK



Hijab & Akhlak


Kemarin sore, saat berteduh dari derasnya hujan di dekat terowongan Fak. Ekonomi. Ada salah seorang teman lama memanggilku, ternyata teman wanita seangkatan waktu di Fekon. Teman ku ini adalah salah satu anggota BKI (Biro Kerohanian Islam), orangnya berhijab, cukup cerewet, sekaligus juga sedikit sotoy.

Akhirnya percakapan pun terjadi, tapi sebelum panjang-lebar percakapan berjalan, ia menawarkan untuk bersinggah di salah satu kantin terowongan, tempat kami berteduh. Mungkin dia sedang lapar, ku ikuti saja kemauan dia. Sambil reuni apa salahnya ditemani secangkir kopi hangat disaat situasi seperti ini.

Teman : Kemana saja dirimu? mengapa sudah jarang terlihat? Kesibukan apa nih sekarang? ambil S2 yaa? Atau sudah kerja? Kerjanya dimana? Sudah nikah? Bla..Bla..

Saya : Sabar neng, sabar.. satu-satu atuh pertanyaannya – Ku potong  pembicaraannya, agar tidak semakin banyak pertanyaan yang harus ku jawab. Satu per satu pertanyaannya pun mulai kujawab. Sayangnya ku sisakan pertanyaan yg terakhir, dan ku beralih dengan bertanya balik kepadanya.

Saya : Apa yang membuatmu sampai bisa terdampar di tempat ini lagi?

Teman : Ada tugas kerja, bertemu dengan customerku yang merupakan salah satu dosen di sini.

Saya : emang kamu kerja di mana?

Teman : Di salah satu perusahaan jasa asuransi.

Saya : ooh..

“Kemudian ada hening dalam pembicaraan kita. Mulutnya yang sibuk karena penuh dengan makanan. Aku pun sibuk browsing melalui gadgetku.” Tak berselang lama, diapun mengingatkan.

Teman : Terus pertanyaanku yang terakhir, Belum kamu jawab?!

Saya : Seperti yang kamu lihat, belum ada cincin nikah dijemariku. Untuk calon Inshaa Allah ini jadi pelabuhan hatiku yang terakhir,

Temanku : ciee, trus kapan nikah?

Saya : Sedang diusahakan untuk tahun depan, itu pun jika sudah memenuhi syarat SIM (Surat Ijin Menikah)

Teman : hahhaha, masih lucu aja lu ndro. Anyway seiman nggak? Orang mana dia? Boleh ku liat fotonya?

Saya : Orang Tambala (sambil ku tunjukan fotonya) dan se-iman. Namun yang membuatku tak habis pikir, mengapa masih ada saja orang yang bertanya; Se-iman dihubungkan dengan pasangan hidup? Apa korelasinya (hubungannya) ? Kalaupun sekat-sekat agama yg membedakan. Apakah itu berarti tiap-tiap Agama mempunyai Tuhannya masing-masing?

“Konsep Tuhan tidak bisa di kerdilkan (sempit) seperti itu – Dalam islam pun Tuhan menjelma dalam 99 Nama (Asmaul Husna) jadi bisa dapat dikatakan yg bukan se-iman adalah merupakan salah satu diantara Jelmaan Tuhan dalam Asmaul Husna itu sendiri”

Bukankah puncak dari agama adalah cinta?

“Temanku terdiam dan tampak serius mendengarkan apa yang baru saja ku kutakan”

Teman : Ini yang membuatku tertarik bisa bertukar-pikiran denganmu, kamu punya perspektif (cara pandang) yang berbeda dari teman-teman yang biasa ku kenal – anyway Pacarmu koq belum pakai jilbab? Semoga dapat hidayah yaa, Padahal jilbab sekarang kan sudah jadi lifestyle? – sambil berdiri dan menunjukan caranya berpakaian –   

Saya pun tertawa geli yang ia katakan dengan ekspresi seperti itu.

Teman : napa lu tertawa, ada yang aneh dengan perkataanku, kalau nggak pake jilbab entar masuk neraka, loh?!!

Ku benahi posisi dudukku, sambil ku seruput sedikit kopiku yang sudah mulai dingin.

Saya : Upss.. Ini dia tiba-tiba kamu mendaulat menjadi Tuhan. Pangkat yang mungkin buat sebagian orang adalah pangkat terhormat, sehingga kemudian dengan keilmuannya yang rendah tapi jenggotnya yang memanjang, jilbabnya yang bercadar, teriak-teriak syar’i.

Langsung berkata seperti air yang mendidih saat dimasak. “..Ooo itu pasti neraka.. Dibakar dari ujung rambut sampe ujung kaki..”

Kamu hampir serupa seperti mereka, bedanya hanya jilbabmu sudah keliatan stylist, tapi pola pemikiranmu masih sama seperti mereka. Kenapa nggak  di stylist juga? Hahha..

“Temanku mukanya tampak masam mengkerut dahinya dibandingkan sebelumnya, dengan sendok makanan yang masih tertempel di mulutnya”

Kulanjutkan perkataanku : “Kayaknya ngga deh. Dia (pacarku) yang masuk surga, dan kamu yang masuk neraka."

"Sontak terbelalak matanya ketika mendengar jawabanku di luar ekspektasinya. mulutnya yang sedari tadi sibuk dengan makanan, berhenti dan menjauhkan makanan itu darinya. Seakan selera makannya telah hilang dan penasaran. Dengan harapan bahwa aku akan membawakan dalil, atau ayat dan segala macam tetek yang sudah bengek lainnya.

Teman : Loh, Koq malah saya yang masuk neraka? Bukannya saya yang lebih islami dari dia?

“Disinilah nikmatnya secangkir kopi. Seruputannya seperti menghentikan waktu sejenak”

Temanku penasaran menantikan jawabanku. Ku nyalakan sebatang rokok, sebagai bentuk perlawanan terhadap propaganda anti rokok yang digaungkan perusahaan farmasi asing untuk mematikan ekonomi negara ini.

Saya : Ya, kamu bisa saja masuk neraka. Karena sudah meng-intimidasi (mengancam) dia, dan dia yang kamu katakan semoga dapat hidayah, akan mulai berfikir keras dan bertanya; apa aku masuk neraka seperti yang kamu katakan..

Lama-lama ilmunya bertambah, dan semakin bertambah ilmunya maka dia semakin paham – dan semakin paham – maka dia akan semakin merendah membenahi dirinya dengan baik dalam ber-agama. Urusan dia sudah bukan surga dan neraka, tetapi bagaimana stabil dalam hidup di dunia karena paham kunci-kunci spiritualnya.

“Tetapi kamu” Lanjutku sambil mengangkat secangkir kopiku yang sudah mulai habis.

“Kamu merasa sudah paling beragama dengan aksesoris-aksesoris simbol itu sendiri. Kamu bahkan sudah tidak merasa penting untuk menambah ilmu agama supaya menguatkan akhlak kamu terhadap sesama manusia. Kamu terus menerus mengukur dan meninggikan dirimu sendiri”

“Kamu beragama dengan sombong karena akalmu mulai melemah dan hatimu semakin tertutup. Semakin tinggi menerbangkan dirimu, maka kamu akan sibuk memasukkan orang lain ke neraka. Kamu malah dianggap menjadi Tuhan-Tuhan baru dalam lingkungan mereka (yang kamu hakimi masuk neraka)”

Apa Tuhan mengijinkan ada kompetitor ? Tidak akan pernah..

“Temanku pun sadar seperti mendapat pencerahan” Temanku tertawa. Dan Aku pun ikut tertawa.

Sejenak ku lihat hujan pun telah mulai mereda, seakan memberikan tanda bahwa waktu obrolan kita akan segera berakhir. Makanannya dan kopiku pun telah habis.

Teman : Terima kasih teman, obrolan singkat ini membuka hijab akal-ku, bahwa pembenaran itu seperti melihat pada dua sisi, dan nilai toleransi adalah hal yang sangat tinggi (istimewa), beruntungnya bisa mengenalmu dengan perspektifmu. Hmmm.. apa rahasianya?

Saya : rahasianya adalah jika kamu yang bayar secangkir kopi ini, hahhaha…

Teman : aku serius! oke aku yang bayar, lagipula yang ajak kan aku, jadi rahasianya apa?

Saya : okelah kalau begitu. (senyum-senyum ala afgan), rahasianya adalah sering-seringlah membaca – baca apa saja – dan terpenting adalah skeptislah (meragukan) pada hal apapun, meski itu mengenai apa yang kita percayai. Tapi skeptisnya gunakanlah akal, jangan biarkan hatimu ikut skeptis, sebab hatilah yang membenarkan. Belajar juga dari secangkir kopi, bahwa kopi itu jujur dalam bertutur. Pahitnya menyadarkan bahwa hidup bukanlah untuk saling mengukur, karena ada yang lebih berhak dalam mengatur.

“Perhatikan..” Aku menutup pembicaraanku. “Dia mendapat hidayah karena doa dari kamu, sedangkan kamu malah menjauh dari hidayah itu sendiri…

Temanku pun langsung beranjak pergi ke kasir seakan ingin membayar pesanan sejak obrolan singkat kita, sayangnya ia menunjuk ke arahku, dan berkata, temanku itu yang bayar bang..

Alamaaaak ”Kopi apa ini ? Pahit sekali… pekatnya terasa dari lidah sampai ke dompet!

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA