ABI MADU

Haji bagi yang Mampu & yang Candu

Setiap tahun ada ratusan atau bahkan ribuan calon jemaah haji yang tidak bisa berangkat, padahal baik secara fisik, mental maupun finansial mereka sudah sangat siap. Mereka masuk dalam kategori “mampu” untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima, tapi mereka gagal berangkat. Apa yang membuat mereka gagal?

Karena kehabisan kuota sehingga harus menunggu setahun, dua tahun, tiga tahun, bahkan ada yang lebih dari lima tahun. Jika mereka ditakdirkan meninggal sebelum sampai pada giliran menunaikan ibadah haji, padahal mampu baik secara mental maupun finansial, siapa yang paling pantas disalahkan? Yang paling banyak disalahkan tentu saja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang memiliki otoritas mengelola ibadah haji. Tapi pemerintah punya alasan kuat, karena ada kuota yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi untuk setiap negara yang tidak bisa diganggu gugat. Negosiasi penambahan kuota bisa dilakukan, dan Pemerintah RI selalu melakukannya sehingga kuota bisa bertambah dari waktu ke waktu.

Namun tetap hanya bisa menampung sebagian saja dari calon jemaah haji yang sudah siap berangkat. Sebagian lagi harus rela berada dalam waiting list. Sebenarnya, biang kerok utama dari kegagalan berangkat itu adalah banyaknya mereka yang berulang kali menunaikan ibadah haji.

adalah mereka orang-orang kaya yang bahkan ada setiap tahun untuk berangkat haji. Dengan kekuatan uang yang dimiliki, mereka selalu bisa mendapatkan prioritas untuk diberangkatkan sesuai kemauan. Pemerintah tidak bisa mencegah, apalagi melarang. Karena, selain tidak ada aturan main yang dilanggar, pemerintah juga bisa dituduh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) jika melarang mereka beribadah sesuai keyakinan agamanya. Mungkin, di antara mereka ini, ada yang termasuk dalam gambaran Moeslim Abdurrahman (Bersujud di Baitullah, Jakarta: 2009), yakni yang melakukan perjalanan ibadah haji-plus yang eksklusif bagi mereka yang kaya dan mampu membayar biaya perjalanan dengan harga mahal, yang sebagai imbalannya memperoleh berbagai fasilitas kenyamanan dan pelayanan serta waktu yang relatif singkat dibandingkan para jemaah haji pada umumnya.

Bayangkan, banyak di antara calon jemaah haji itu merupakan masyarakat kelas bawah yang hidupnya pas-pasan. Tapi karena gairah keimanan yang kuat, dengan menabung bertahun-tahun, bahkan ada di antaranya hingga puluhan tahun menabung, ditambah harus menjual sebagian properti (tanah) yang dimiliki, akhirnya bisa mendaftarkan diri sebagai calon jemaah haji. Tapi sayang, setelah semuanya sudah siap, karena keterbatasan kuota, mereka harus menunggu bertahun-tahun lagi.

Seandainya orang-orang yang uangnya berlebih itu tidak berkali-kali menunaikan ibadah haji, tentu tidak akan banyak yang harus menunggu. Mereka berharap, dengan ibadah haji berkali-kali, akan berlipat ganda pahalanya. Tapi, menurut Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub (imam mesjid istiqlal), mereka ini bisa disebut zalim karena membuat orang lain gagal menunaikan ibadah haji. Daripada ibadah haji, atau ibadah umrah berkali-kali, lebih baik uangnya diberikan untuk mereka yang lebih membutuhkan.

Bantuan orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin agar mereka bisa beribadah dengan tenang, pahalanya di sisi Allah jauh lebih besar dan dilipatgandakan. Mereka bisa mendapatkan pahala dari sedekah yang diberikan, juga dari pahala ibadah orang yang bisa beribadah karena diberi sedekah.

Orang yang menyedekahkan hartanya kepada orang lain agar bisa beribadah haji lebih besar pahalanya dibandingkan ibadah haji itu sendiri. Menurut Ali Syariati, haji adalah pentas perjalanan manusia menuju Allah swt. Dan Allah swt berfirman; bahwa celakalah orang-orang yang rajin menunaikan salat (menghadap Allah) namun lalai, ingin dipuji (riya’),dan enggan menolong orang lain (QS, 107: 4-7).

Apakah tidak juga celaka orang-orang yang rajin berjalan menuju Allah swt (haji) namun tetap membiarkan kemiskinan dan keterbelakangan berada di sekelilingnya. Menurut Ali Mustafa, ketika masih banyak orang miskin dan anak yatim piatu yang telantar, masih ada ribuan orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, lalu kita pergi haji berkali-kali, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah, ataukah karena dorongan agar ingin disebut saleh dan menjadi orang-orang terhormat di lingkungan masyarakat?

Jika motivasinya yang terakhir, maka ibadah haji kita bukan karena Allah Azza wa Jalla melainkan karena setan. Jangan dikira, setan hanya menyuruh manusia berbuat jahat. Setan juga bisa menyuruh manusia untuk beribadah. Sebagai contoh, setan pernah menyuruh sahabat Abu Hurairah untuk membaca ayat kursi setiap malam.

Ibadah yang dimotivasi rayuan setan, menurut Ali Mustafa, bukan lagi ibadah melainkan maksiat. Di satu sisi, banyaknya jumlah jemaah haji Indonesia sangat menggembirakan karena menjadi bukti peningkatan kesejahteraan dan kesalehan.

Tapi, di sisi lain menyedihkan karena sebagian dari jemaah itu ada yang sudah beribadah haji berkali-kali. Padahal di lingkungan masyarakat mereka masih banyak orang yang, jangankan pergi ke tanah suci, bahkan untuk makan sehari-hari saja masih kesulitan.

Kesalehan (individual) ibadah haji yang dilakukan berkali-kali bertentangan dengan semangat kesalehan (sosial) yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Alm. Ali Mustafa Yaqub, yang telah kembali ke pangkuan-Nya adalah satu di antara sedikit ulama yang lebih banyak menganjurkan ibadah sosial di samping ibadah madhah yang bersifat individual.

Haji yang zalim adalah salah satu frasa yang disampaikan Ali Mustafa untuk mereka yang lebih mengutamakan pergi haji yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Padahal masih banyak orang yang tak bisa atau gagal naik haji karena tidak kebagian kuota.

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA