JANGAN MALU
Jagal dengan Masa Lalunya
Kemarin saya baru saja dikirim video Simposium mengenai Tragedi 1965. Simposium ini diadakan pemerintah sebagai bentuk Rekonsiliasi antara keluarga korban yang dibantai saat "pembersihan" partai Komunis itu dengan elemen-elemen yang terlibat seperti NU - dengan Bansernya - Pada tahun itu adalah salah satu aktor utama, dimana terjadi gesekan kuat dengan PKI dan diakhiri dengan pembantaian mereka yang terlibat Partai Komunis.
Entah, berapa ratus ribu Nyawa melayang waktu itu? kita berada pada fase genosida terbesar dimana mayat-mayat seperti tumpukan karung beras, diatas Truk sampah, disungai, ditimbun di hutan-hutan atau area-area sunyi. Mungkin film tentang Genosida di Rwanda dan tragedi pecahnya Muslim-Hindu di India bisa sedikit menggambarkan situasi pada saat itu. Beruntunglah kita tak berada pada fase itu, karena kita juga mempunyai kemungkinan untuk menjadi korban.
Dalam simposium yang dikirim itu, wakil dari NU meminta maaf kepada keluarga korban, karena telah menyakiti hati mereka. sebuah langkah visioner dari NU, sesudah perdebatan seru di internal mereka sendiri perlu atau tidaknya meminta maaf kepada keluarga Korban. Kenapa? karena sebelum Tragedi 30 September, para Kiyai dan Ustadz NU pun banyak yang dibunuh oleh PKI. Jadi, ketika mendapat "signal hijau" dari pemerintah untuk memberantas orang-orang PKI, maka NU dengan Bansernya berada di garda paling depan untuk meng-eksekusi mereka. NU sendiri posisinya juga sebagai korban. Masa itu, membunuh atau dibunuh adalah slogan yang mengerikan.
Saya pernah menonton film dokumenter oleh Dhandy "The Act of Killing" judul Indonesianya "Jagal" mengisahkan tentang perjalanan Anwar Congo, preman Medan yang sangat terkenal disana karena membantai ratusan simpatisan atau yang dituduh PKI dengan tangannya sendiri. Di film tersebut, Anwar Congo digambarkan dengan senang hati dan cukup bangga reka ulang caranya membunuh tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Dia membunuh dengan Kawat, Balok Kayu, Parang, Rantai/tali apapun alat disekitarnya menjadi senjata yang bisa mematikan. Menurutnya, waktu itu adalah sebuah prestasi dan orang-orang sekitarnya jika bisa membunuh seorang PKI karena bagian dari membela Negara dengan melakukan genosida. Semakin banyak mereka membunuh, semakin harum nama mereka. Bahkan kerusuhan 1965 itu juga melebar ke kerusuhan Etnis.
Teman Anwar Congo mengisahkan, ia membantai calon mertuannya yang cina hanya karena tidak disetujui pacaran dengan anak gadisnya. Tuduhan paling enak saat iut ya, "Dia PKI, Halal darahnya" Stigma itu sudah cukup sebagai legalitas untuk membunuh. Simposium yang diselenggarakan itu, bagi saya merupakan kedewasaan sebagai bangsa ini agar "melek" sejarah pada peristiwa 1965 dalam kacamata yang lebih bijak. Minta maaf bukan berarti kalah, justru itu adalah bagian kemenangan terbesar seorang manusia dalam meruntuhkan seluruh penyakit hati mulai kecewa, dendam, idealis, bahkan ego-nya sendiri. terkadang ego lah yang membuat masalah yang tadinya kecil malah menjadi rumit.
Di akhir film Dokumenter The Act of Killing, sutradara-nya pintar memainkan situasi. ia memutar kembali proses-proses pembunuhan yang dilakukan Anwar Congo dalam rekonstruksi Jagal. Anwar yang sudah menjadi kakek menonton bersama kedua cucunya. Wajah tua Anwar Congo pun berubah, ia terllihat sangat rentan dan muram. semua kebanggaan pada dirinya sebagai Jagal pada waktu masih muda seperti lenyaplah sudah. Ia menatap wajah sang sutradara yang bersamanya dalam waktu cukup lama.
Bibir tuanya bergetar, "Apakah aku salah, Joshua? Apakah aku salah?" hantu masa lalunya membenani dirinya sekian lama. Wajah orang-orang yg dibantainya terbawa dalam mimpi sepanjang hidupnya. Di balik semua kebanggaannya pada saat itu, ternyata Anwar Congo tersiksa dalam rasa bersalah yang amat besar.
Entah bagaimana perasaan mereka yang dulu menjadi pembantai dengan alasan apapun, hidup dalam semua bayangan masa lalu itu. Rasa pahit dalam secangkir kopi hitam dan kempulan asap rokok yg biasa menenangkannya justru membuat jiwa mereka gelisah selamanya...
Kemarin saya baru saja dikirim video Simposium mengenai Tragedi 1965. Simposium ini diadakan pemerintah sebagai bentuk Rekonsiliasi antara keluarga korban yang dibantai saat "pembersihan" partai Komunis itu dengan elemen-elemen yang terlibat seperti NU - dengan Bansernya - Pada tahun itu adalah salah satu aktor utama, dimana terjadi gesekan kuat dengan PKI dan diakhiri dengan pembantaian mereka yang terlibat Partai Komunis.
Entah, berapa ratus ribu Nyawa melayang waktu itu? kita berada pada fase genosida terbesar dimana mayat-mayat seperti tumpukan karung beras, diatas Truk sampah, disungai, ditimbun di hutan-hutan atau area-area sunyi. Mungkin film tentang Genosida di Rwanda dan tragedi pecahnya Muslim-Hindu di India bisa sedikit menggambarkan situasi pada saat itu. Beruntunglah kita tak berada pada fase itu, karena kita juga mempunyai kemungkinan untuk menjadi korban.
Dalam simposium yang dikirim itu, wakil dari NU meminta maaf kepada keluarga korban, karena telah menyakiti hati mereka. sebuah langkah visioner dari NU, sesudah perdebatan seru di internal mereka sendiri perlu atau tidaknya meminta maaf kepada keluarga Korban. Kenapa? karena sebelum Tragedi 30 September, para Kiyai dan Ustadz NU pun banyak yang dibunuh oleh PKI. Jadi, ketika mendapat "signal hijau" dari pemerintah untuk memberantas orang-orang PKI, maka NU dengan Bansernya berada di garda paling depan untuk meng-eksekusi mereka. NU sendiri posisinya juga sebagai korban. Masa itu, membunuh atau dibunuh adalah slogan yang mengerikan.
Saya pernah menonton film dokumenter oleh Dhandy "The Act of Killing" judul Indonesianya "Jagal" mengisahkan tentang perjalanan Anwar Congo, preman Medan yang sangat terkenal disana karena membantai ratusan simpatisan atau yang dituduh PKI dengan tangannya sendiri. Di film tersebut, Anwar Congo digambarkan dengan senang hati dan cukup bangga reka ulang caranya membunuh tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Dia membunuh dengan Kawat, Balok Kayu, Parang, Rantai/tali apapun alat disekitarnya menjadi senjata yang bisa mematikan. Menurutnya, waktu itu adalah sebuah prestasi dan orang-orang sekitarnya jika bisa membunuh seorang PKI karena bagian dari membela Negara dengan melakukan genosida. Semakin banyak mereka membunuh, semakin harum nama mereka. Bahkan kerusuhan 1965 itu juga melebar ke kerusuhan Etnis.
Teman Anwar Congo mengisahkan, ia membantai calon mertuannya yang cina hanya karena tidak disetujui pacaran dengan anak gadisnya. Tuduhan paling enak saat iut ya, "Dia PKI, Halal darahnya" Stigma itu sudah cukup sebagai legalitas untuk membunuh. Simposium yang diselenggarakan itu, bagi saya merupakan kedewasaan sebagai bangsa ini agar "melek" sejarah pada peristiwa 1965 dalam kacamata yang lebih bijak. Minta maaf bukan berarti kalah, justru itu adalah bagian kemenangan terbesar seorang manusia dalam meruntuhkan seluruh penyakit hati mulai kecewa, dendam, idealis, bahkan ego-nya sendiri. terkadang ego lah yang membuat masalah yang tadinya kecil malah menjadi rumit.
Di akhir film Dokumenter The Act of Killing, sutradara-nya pintar memainkan situasi. ia memutar kembali proses-proses pembunuhan yang dilakukan Anwar Congo dalam rekonstruksi Jagal. Anwar yang sudah menjadi kakek menonton bersama kedua cucunya. Wajah tua Anwar Congo pun berubah, ia terllihat sangat rentan dan muram. semua kebanggaan pada dirinya sebagai Jagal pada waktu masih muda seperti lenyaplah sudah. Ia menatap wajah sang sutradara yang bersamanya dalam waktu cukup lama.
Bibir tuanya bergetar, "Apakah aku salah, Joshua? Apakah aku salah?" hantu masa lalunya membenani dirinya sekian lama. Wajah orang-orang yg dibantainya terbawa dalam mimpi sepanjang hidupnya. Di balik semua kebanggaannya pada saat itu, ternyata Anwar Congo tersiksa dalam rasa bersalah yang amat besar.
Entah bagaimana perasaan mereka yang dulu menjadi pembantai dengan alasan apapun, hidup dalam semua bayangan masa lalu itu. Rasa pahit dalam secangkir kopi hitam dan kempulan asap rokok yg biasa menenangkannya justru membuat jiwa mereka gelisah selamanya...
Comments
Post a Comment