KI SANG BERAS

Kisah Fiksi yang Nyata
Keberadaan Realitasnya


Korban Penggusuran---Pedagang Kaki Lima (PKL) 

“Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi dalam Ruang sidang : Keadilan adalah yang keluar dari ruang sidang itu.” -Clarence Darrow-

Aku meminta pada kalian jangan lagi percaya pada ketentuan hukum dan intuisinya. Hukum ditegakkan untuk mereka yang tak punya kekuasaan dan pengaruh. Mereka adalah bukti hidup bagaimana ketidak-adilan itu masih dirawat dan diasuh oleh aparat penegak hukum. Terlampau lama kita meyakini bila hukum itu bertugas untuk melayani serta melindungi mereka yang lemah. Hingga pada suatu saat aku melihat ada rombongan petugas yang kemudian mendatangi mereka ‘Korban Penggusuran’.
Petugas itu mengatakan, mereka harus pergi dari tempat itu sebab itu bukan wilayah mereka. Tuduhan yang diberikan kepada mereka dengan pernyataan pelanggaran aturan yang telah dibuat. Tudingan bahwa mereka telah mencemarkan keindahan kota, dikatakan juga mereka melakukan aktivitas ilegal, disebut pula mereka sebagai pedagang yang katanya tak bisa ditertibkan. Hingga pada suatu klimaks kejadian, petugas meminta mereka memilih: pergi atau dipaksa pergi!

Plang pengumuman pun ditempel untuk mereka. Para PKL tak boleh berjualan disini. Dengan kalimat yang sama dimana-mana. Seakan-akan mereka seperti kumpulan binatang yang berbahaya jika dibiarkan bebas berkeliaran dimana-mana. Seolah-olah mereka adalah kumpulan manusia yang berbeda kasta diantara kita. Oleh karenanya, perilaku serta tindakan merekapun harus diawasi. Padahal bagiku, mereka tidak seburuk ataupun sebusuk itu. Mereka juga punya perasaan dan kepedulian yang sama seperti kita. Mereka punya harapan dan keinginan yang serupa denganku, denganmu, seperti kita pada umumnya. Aku tahu mereka ingin bekerja selayaknya manusia normal yang lain. Mereka juga mau mencari nafkah dengan perlindungan yang sama seperti yang lainnya. Mengapa di negeri lain mereka didukung sedangkan di negeri yang bersandar burung garuda, mereka dikurung?

Pernahkah kau bertanya, mengapa pemilik-pemilik ‘toserba’ itu boleh berjualan dimana-mana dengan menyita apa aja. Trotoar diambil untuk lahan parkir atau untuk taman-taman mall. Mereka saja diperbolehkan. Mengapa untuk PKL yang ada hanya larangan? DILARANG!

Jawabannya satu: Uang. Uanglah yang berperan atas semuanya. Karena uang maka muluslah semua tindakan yang dilahirkan oleh para pemilik modal besar, para kapital ‘Si Besar’. Uang yang menyuruh mereka untuk mengusir para Pedagang Kaki Lima. Uang memberikan hak istimewa untuk para pemilik mall. Malahan uang pula yang membuat wewenang para petugas trantib yang sangat berlebihan. Uang sekali lagi yang menggantikan wewenang atas tugas pokok institusi hukum: menegakkan ketertiban dan mempercayai segala upaya yang menuju kesana keadilan. Saksikan saja bagaimana kemuliaan para pemilik mall: dikelilingi para pejabat pada upacara pembukaan dan selalu dimenangkan dalam tiap pertarungan sidang. Kekebalan mereka untuk mengembangkan operasi tidak didukung oleh aturan hukum tapi oleh kekuatan uang yang terus menerus bertambah. Konon katanya Si Besar gampang sekali bertemu dengan pejabat level apapun(**). Bayangkan bedanya dengan PKL!

“Uang itu berkuasa, karena ia dapat menyelamatkan atau membunuh orang.” -Chun Tae H-

Kurasa jawaban atas pertanyaanmu ada pada akhir nasib si Ismail seorang PKL yang menjadi korban penggusuran. Dia memilih tetap bertahan dan berjualan padahal telah diperingatkan oleh aparat hukum yang diberi kewenangan. Dia justru memilih menentang dan bersikap melawan. Hingga pada suatu waktu pukulan mematikan itu mendarat ditubuh Ismail sampai menewaskannya. Aku berpikir Ismail adalah manusia yang benar-benar sadar bahwa perjuangannya akan berakhir dengan kematiannya sendiri. Aku sempat mengingat perkataan Ismail padaku di perbincangan singkat, “harus ada yang melawan keadaan itu, musti ada yang mengatakan, berhenti hingga sampai disini!!”

Aku tahu keadaan tidak banyak berubah meski telah memakan korban, kematian ‘Si Ismail’. Setidaknya Ismail sudah mengajarkan keberanian yang begitu luar biasa, untuk bertindak menentang itu semua. Apalagi soal yang menjadi keyakinannya bahwa dirinya tak bersalah. Aku kagum atas sikap yang ada dalam dirinya. Akan sumpah seorang yang tak punya harta: “kesediaan untuk berkorban hanya mampu diberikan oleh orang yang merasa segalanya sudah cukup.” Kurasa Ismail merasa hidupnya sudah cukup. Dulu Ismail punya lapak warung makan usaha kecil-kecilan dan ketika itu disita secara sewenang-wenang, ia kemudian memutuskan untuk melawan! Menurutku itu sebuah harga penembusan dari sebuah kehidupan negeri ini dimana sejak awal tak menghargai martabat keadilan dan tidak memihak kepada yang lemah!

“Jika keadilan ditegakkan, maka keberanian tidak diperlukan lagi.” -Anonymous-

“Hidup dengan rasa takut dan tanpa merasa ketakutan adalah akhir dari ujian kematangan.” -Edward Weeke -

Kisah si Ismail hanya sebagian kecil frasa kejadian korban penggusuran PKL. Masih banyak korban-korban PKL lain yang luput dari ketidak-adilan yang hidup dan tinggal diantara kita dinegeri ini. Mereka adalah korban pembangunan yang begitu digembor-gemborkan oleh para pengusaha besar dan penjabat penguasa. Merekalah korban kemajuan pertumbuhan ekonomi yang terus diperdebatkan hingga kini oleh para ahli. Mereka juga sebagai korban penegakan hukum tanpa adanya advokasi yang ditegaskan oleh para menteri dan ahli-ahli hukum.

“Keadilan yang terlalu lama ditunda adalah keadilan yang diingkari.” -Martin Luther King-

Mereka seperti tumbal dari proses transisi yang tak pernah berujung selesai. Mereka menentang ceramah palsu yang dikeluarkan dari mulut para pendusta itu. Mereka menolak segala sesuatu yang pada akhirnya hanya membuang martabat dan pekerjaan yang sedang mereka tekuni. Mereka tahu bahwa keadaan memang tak berubah tapi diri merekalah yang berubah: mereka melawan meski ajal menjemput di hari mendatang, karena pada saat itulah mereka benar-benar menjadi pemenang!

“Di waktu siang atau malam, selalu ada suatu saat dimana manusia menjadi pengecut, hanya terhadap saat itulah ia merasa takut.” –Albert Camus-

(**) Catatan: Sebuah laporan Warta Ekonomi 22 Maret - 04 April 2010. Menunjukan salah satu Perusahaan Perbelanjaan dianggap telah melanggar UU Anti Monopoli oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) kemudian mengajukan banding ke pengadilan negeri dan dinyatakan bebas. Konon kemenangan disponsori oleh sebuah pertemuan Penguasa No.1 negeri dengan Seorang CEO perusahaan MNC yang bersangkutan pada bulan desember 2009, dimana saat itu kunjungan Penguasa No.1 ke Eropa. Sehingga pertemuan itu berlangsung. Situasi ini memberikan gambaran berkuasanya kekuatan modal dan pengaruh MNC  menjalar sampai ke meja kekuasaan.

Baca : Eko Prasetyo, Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin, Resist Book, 2010

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA