MANDI KAMIS

Hukum & Keadilan
Tidak Untuk Yang Miskin

Setelah membaca buku karya Eko Prasetyo “Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin” sangat menarik untuk menulis beberapa potongan kalimat perspektifnya.

Konsep keadilan punya historis lebih tua ketimbang lembaga hukum itu sendiri banyak kisah pedoman etis (etika) yang menuntun kita untuk ber-prilaku baik dan buruk, dan juga tentang hak serta kewajiban moral. Dimana kumpulan asas atau nilai yang berkenaan tentang sebuah akhlak. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat tiap orang untuk berbuat adil. Gagasan keadilan sendiri melalui kitab suci diperintis oleh kaum agamawan bahwa Tuhan tahu manusia itu lemah, dan mudah terperosok, oleh karenanya memerlukan inspirasi untuk berbuat adil. Tak kurang puluhan Nabi muncul di ikuti dengan banyak pahlawan kemanusiaan untuk mengatakan bahwa manusia sanggup merintis yang namanya sebuah keadilan.

Seorang filsuf romawi bernama Cicero pada abad-19 silam mengatakan “Ubi Societas Ubi Ius” artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum yang menegaskan kita, bahwa hukum bukan hanya sekedar pasal per pasal yang menjadi pion tertentu. Sehingga setiap aspek kehidupan selalu terkandung muatan akan hukum. Tak hanya itu banyak juga para pemikir yang tumbuh dan lahir dengan keyakinan otentik tentang kekuatan akal manusia yang niscaya mampu menjangkau konsepsi keadilan.

“Sejarah membekali kita dengan kemampuan mental yang sangat berharga yang kita namakan sebagai kemampuan menilai” - Woodrow Wilson -


“Orang yang hidup setelah masa 3000 tahun dan tanpa melihat fenomena yang terjadi seperti itu, hidup tanpa memakai akalnya” - Goethe -

Dalam konteks konstitusi terkait Undang-Undang dengan sejumlah pasal sebenarnya adalah upaya manusia dalam mengaktualkan aktifitas hukum menjadi aturan mutlak bagi suatu bangsa yang bersifat mengikat suatu pemerintahan bersama rakyatnya. Namun hanya dalam bilangan tahun frekuensi suara kemanusiaan itu kian mulai memudar, hilang, dan berganti dengan suara untuk mendapatkan keuntungan, laba, dan melihat kemanusiaan bukan lagi dari bagian unsur senyawa utama akan ketetapan hukum untuk berbuat adil. Padahal jejak kesejarahan telah memberikan kita gambaran secara luas arti hukum dan juga keadilan secara hakekatnya.

Berbicara konteks hukum dalam Negara Indonesia telah dibuat suatu peraturan-peraturan atas nama bangsa dan kedaulatan rakyat menjadi suatu fragmen yang kita sebut sebagai UUD 45 dimana membuat segala bentuk penegakan atas nama keadilan. Namun realitas yang terlihat masih banyak mafia-mafia hukum mengerti hukum tapi tidak taat terhadap hukum. Contohnya, baru-baru ini kita mendengar atau melihat dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 32 ayat 2 disebutkan :

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak"

Dikenakan maksimal 12 tahun hukuman perjara. Ini sungguh tidak masuk akal, dibandingkan dengan para koruptor atau elite yang korupsi sampai milliaran yang hanya dihukum 2-7 tahun, bahkan ada yang lolos dari jeratan hukum. apakah adil ?

Maka dibalik amendemen UU seperti ada mafia yang mengatur kebijakan UU di Indonesia. Tujuannya adalah demi ambisi pribadi seseorang atau kelompok penguasa. Perbuatan keji seseorang kini bisa di rendam dengan mudahnya dengan berbagai macam alasan. Sehingga keadilan dewasa ini seakan dihukum dalam karentina konstitusional dengan mendirikan komisi dan lembaga untuk perubahan dalam aturan-aturan yang baru maka keadilan seketika direduksikan akan datang. Sedangkan untuk membongkar muatan kontradiksi dalam aturan hukum tak hanya berkutat  pada ketentuan pasal. Pasal adalah hasil akhir dari negosiasi panjang parlemen yang padat akan kompromi sekaligus kemelut analogi sebuah kepentingan.

Menurut Sjahrir dalam “Perjuangan Kita” telah lama mengingatkan luapan perubahan takkan mampu menahan aliran sungai yang membawa kandungan limbah yang telah dicampur-adukan. Sesungguhnya bangsa ini pada era kekuasaan jepang telah menyimpan benih keji yang sempat disemaikan. Benih itu berupa moralitas korupsi dengan benteng jiwa yang feodal. Sehingga melahirkan propaganda dan agitasi yang lahir membentuk semiotik aturan-aturan konstitusional. Tak hanya itu sistem kapitalisme juga telah merantai wewenang dan peran hukum hanya sebatas pemangku kepentingan beberapa kelompok.

Herbert Marcuse pernah menjelaskan tentang sebuah keadaan yang berkelimpahan untuk penegak hukum dan kekuasaan politik. Maksudnya adalah pasal-pasal yang diterapkan menjadi cerminan umum dari kepentingan kelas dominan, kelas itu berangkat dan duduk dalam ranah meja kekuasaan mereka tampil tak lagi dengan pikiran-pikiran agung tapi kesempatan liberal yang dibuka lebar melalui sistem dan dijadikan sebagai aturan umum. Sehingga kelas dominan itu tumbuh subur ditengah realitas sosial yang berlimpah.

Hukum dan konstitusi memiliki daya dobrak untuk melakukan perubahan. istilahnya adalah bukan mandat hukum yang tak bisa memerankan diri tetapi sistem menjebak hukum untuk punya peran yang terbatas. Kaidah itu, telah sejak lama hanya melayani kemapanan dan kelas elite sebagai prosedur mematut diri untuk memerankan fungsi restorasi elite. Sehingga kaum miskin tak pernah dihitung dalam rumusan hukum. Kita lihat saja ada sebuah aturan-aturan pelanggaran dikena-kan sebuah denda dengan sejumlah uang untuk mengurangi masa penahanan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Membuat posisi intuisi hukum tidak memihak terhadap kaum miskin. Posisi hukum bukanlah seperti tradisi yang mematut diri dengan asaz, ketentuan Undang-Undang ataupun keputusan pengadilan melainkan ada ditangan mereka yang kini kehilangan haknya.

Kecemasan Sjahrir sama halnya dengan kekuatiaran Tan Malaka yang menaruh kecurigaan sejenis kalau kemerdekaan itu tak memiliki makna apapun untuk merdeka yang sudah lama hidup dalam kemiskinan. Tan Malaka menulis Risalah yang diberi judul “Merdeka 100%” yang sangat mendasar tentang keyakinan utamanya akan kemerdekaan bagi yang miskin. Baginya tak ada artinya kemerdekaan jika kelompok miskin ditiadakan haknya. Merdeka berarti tidak merampas kemerdekaan orang lain, bukan?

Dengan slogan “tatap masa depan” kita lenyapkan jalan yang penuh noda dimasa lalu. Seperti menghapus semua kejahatan adalah tugas utama dari reformasi. Seolah menghilangkan jejak masa lalu adalah tanda hidupnya sebuah demokrasi. Inilah yang membuat keadilan tampak layu ketika “si kecil di--injak si besar” jika keadilan yang dikatakan maka yang terjadi adalah kesenjangan. Jika ketertiban yang dimuliakan maka yang muncul adalah kekacauan. Lihat saja betapa perbincangan mengenai etika, kehormatan, dan kewibawaan selalu bersangkutan antara hubungan rakyat dangan penguasa disertai pengusaha. Disinilah pengadilan telah lama mati!
Jadi teringat potongan kalimat dari seorang sahabat

“Menjadi tugas kita sebagai generasi masa depan adalah ‘melek’ terhadap hukum dan peradabannya, agar tidak menyerang membabi buta terhadap bentuk keadilan pada asumsi-asumsi hukum yang belum dapat dipastikan kebenarannya”

Comments

Popular posts from this blog

YME - OPA UUD 45

NITRO TIMNAS

API & MASA