ALIS ANGSA DUA
Dualisme Kebangsaan
Di Tanah Papua
Dualisme kebangsaan di Papua berkiblat pada kolerasi historisnya.
Di Tanah Papua
Dualisme kebangsaan di Papua berkiblat pada kolerasi historisnya.
Pada Dokumen “Penyelesaian Persengketean Irian Barat 1950”
dinyatakan keinginan untuk bergabung dengan Indonesia bukan semata-mata
keinginan pihak Indonesia. Tetapi sudah menjadi kebulatan tekad rakyat Papua.
Sementara Peristiwa 1 desember 1961
terjadi deklarasi kemerdekaan Papua, perspektif waktu itu sebagian Papua
merasakan dirinya bukanlah bagian dari Indonesia. Sedangkan 15 agustus 1962 perundingan
New York sampai kesepakatan mufakat 1 mei 1963 Papua masuk kedalam Indonesia.
Dari hasil kesepakatan itulah anggapan sebagai tidak wujudnya kebangsaan yang
lahir di tanah Papua. Perjuangan atas Babo, Kokas, Manokwari, Fak-Fak dan Sorong
telah berlangsung pada 1947. Maka kesepakatan itulah melahirkan Penentuan
Pendapat Rakyat (papera) tahun 1969 menjadikan integrasi Papua masuk dalam wilayah
kedaulatan Indonesia.
Pergolakan yang
meresponsi terlebih dahulu untuk menentang penjajahan Belanda terjadi di Pulau
Jawa seperti jejak kesejarahan. Dengan semangat hendak meningkatkan semangat
masyarakat, Mas Ngabehi Wahidin Soediro Husodo, seorang doktor jawa dan
termasuk seorang priayi, tahun 1906-1907 melakukan kempanye di kalangan priayi
di Pulau Jawa.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia. Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Disini kita dapat melihat tahun 1908 telah berlangsung perkumpulan pemuda seantero Nusantara mendiskusikan tentang ke-Indonesia-an representasi Papua pun masuk dalam ranah kekuasaan Maluku dan Jong Ambon sebagai perwakilannya. Papua juga dianggap tidak masuk dalam penjajahan Hindia-Belanda. Sedangkan pendudukan Belanda secara resmi di Papua 1828. Jadi kala itu sudah tersemayam jiwa nasionalisme dalam diri rakyat Papua untuk merdeka, kita dapat melihat peninggalannya yaitu berupa Benteng Lobo di Teluk Triton--sekarang wilayah Kabupaten Kaimana.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia. Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Disini kita dapat melihat tahun 1908 telah berlangsung perkumpulan pemuda seantero Nusantara mendiskusikan tentang ke-Indonesia-an representasi Papua pun masuk dalam ranah kekuasaan Maluku dan Jong Ambon sebagai perwakilannya. Papua juga dianggap tidak masuk dalam penjajahan Hindia-Belanda. Sedangkan pendudukan Belanda secara resmi di Papua 1828. Jadi kala itu sudah tersemayam jiwa nasionalisme dalam diri rakyat Papua untuk merdeka, kita dapat melihat peninggalannya yaitu berupa Benteng Lobo di Teluk Triton--sekarang wilayah Kabupaten Kaimana.
Fragmen historis inilah
yang membawa dualisme kebangsaan di Tanah Papua dan menjadi kiblat
masing-masing kelompok. Satu lingkungan terdapat dua perspektif nasionalisme
kebangsaan entah nasionalisme Indonesia ataukah nasionalisme papua itu sendiri.
Apalagi kalau sudah masuk ranah kepentingan politik praktis, pengakuan Nasionalisme bermakna merekonstruksi secara nyata dalam setiap kedaulatan dan kebangsaan yang mengaku Indonesia. Dengan operasi-operasi militer seperti Operasi Sadar 1965-1967, Operasi Wibawa 1969, Operasi Sapu Bersih I dan II 1981 menentang nasionalisme operasi Papua untuk merdeka.
Apalagi kalau sudah masuk ranah kepentingan politik praktis, pengakuan Nasionalisme bermakna merekonstruksi secara nyata dalam setiap kedaulatan dan kebangsaan yang mengaku Indonesia. Dengan operasi-operasi militer seperti Operasi Sadar 1965-1967, Operasi Wibawa 1969, Operasi Sapu Bersih I dan II 1981 menentang nasionalisme operasi Papua untuk merdeka.
Setelah kemerdekaan
Indonesia-pun, hidup yang merdeka belum seutuhnya dirasakan pada beberapa
daerah yang menuntut kesejahteraan sosial. Terutama daerah tanah Papua yang
masih perlu kebutuhan untuk memberikan kemaslahatan menjejang pendidikan yang
layak. Bantuan langsung dari Instansi Pemerintahan Pusat untuk meningkatkan
kesejateraan rakyat yang progresif kepada antar provinsi tidak relevan dan juga
bersifat disparitas untuk bisa sampai pelosok Indonesia bagian paling timur
ini.
Maka perjuangan yang
ada saat ini jika dicermati bukan lagi berkenaan dengan separatisme untuk memperjuangkan
Papua yang merdeka, karena keyakinan dari pengalaman masa lalu yang dihadirkan
saat ini. Pada saat kelompok yang menerima kesatuan dalam Indonesia kemudian
tidak mendapat pelayanan yang asasi dan adil sebagai kebutuhan untuk mempertahankan
agar tetap hidup. sehingga kita dapat melihat essensi dari ke-negaraan itu
sendiri?
Otonomi khusus yang berikan kepada pemerintah daerah di tanah Papua bisa memberi peluang kewenangan otoritarian kepada pejabat-pejabat daerah untuk mengatur sistem yang altruis, seperti abad-17 yang masih menganut paham feodalisme. Sebagai Negara yang menganut paham sosial-demokrasi dewasa ini. Pemahaman atas sistem feodal sudah sangatlah ortodoks.
Kepedihan yang mengalirkan beberapa kelompok untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan keinginan untuk mengatur dirinya sendiri sebagai bangsa yang berdaulat untuk merdeka.
Otonomi khusus yang berikan kepada pemerintah daerah di tanah Papua bisa memberi peluang kewenangan otoritarian kepada pejabat-pejabat daerah untuk mengatur sistem yang altruis, seperti abad-17 yang masih menganut paham feodalisme. Sebagai Negara yang menganut paham sosial-demokrasi dewasa ini. Pemahaman atas sistem feodal sudah sangatlah ortodoks.
Kepedihan yang mengalirkan beberapa kelompok untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dengan keinginan untuk mengatur dirinya sendiri sebagai bangsa yang berdaulat untuk merdeka.
Teringat dengan kata Dosen Odha “Bebaskan realitas dari teori-teori masa lalu yang mengekang kebebasan, biarkan
realitas mengungkapkan teorinya sendiri!”
Comments
Post a Comment